Selasa, 06 Januari 2009

LANDASAN UNDANG-UNDANG PTJJ

SALINAN SURAT EDARAN
DIREKTORAN JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


Nomor : 4039/D/T/93 Tanggal 13 September 1993
Perihal : Persyaratan dan Prosedur Pengangkatan Pimpinan PTS

Pada : Yth. Saudara Koordinator
Kopertis Wilayah I - XII
se- Indonesia

Memperhatikan peraturan pemerintah no. 30 tahun 1990 tentang pendidikan tinggi, khususnya pasal 38 (2) tentang pengangkatan Rektor Universitas/Institut, pasal 62 (2) tentang pengangkatan Ketua Sekolah Tinggi, dan pasal 88 (2) tentang pengangkatan Direktur Akademi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang selanjutnya disebut pimpinan, dengan ini saya beritahukan bahwa persyaratan, prosedur dan data pendukung yang harus dipenuhi untuk pengajuan usul : persetujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bagi calon pimpinan perguruan tinggi swasta (PTS) adalah sebagai berikut:


A. PERSYARATAN
1. Persyaratan Akademik.
a. Minimal berijazah Sarjana (S1);
b. Minimal telah mengajar 4 (empat) tahun di perguruan tinggi;
c. Kesesuaian latar belakang pendidikan khusus bagi calon yang akan menjadi pimpinan Akademi/Politeknik/Sekolah Tinggi/Institut.
2. Persyaratan Administrasi
a. Persetujuan Senat PTS;
b. Rekomendasi persetujuan Kopertis;
c. Persetujuan dari instansi yang bersangkutan bagi calon yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ABRI.
d. Berdomisili di kota PTS yang akan dipimpin dan sanggup bertugas penuh sebagai pimpinan;
e. Tidak merangkap sebagai pengurus Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta (BP-PTS) yang bersangkutan;
f. Tidak merangkap sebagai pimpinan PTS lain;
g. Usul pengangkatan dan penggantian pimpinan PTS harus sudah diterima oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi minimal 3 (tiga) bulan sebelum pengangkatan/penggantian dilakukan.

B. PROSEDUR
1. BP-PTS mengusulkan pengangkatan pimpinan PTS kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur Jendral Pendidikan Tinggi dan disertai rekomendasi dari Kopertis yang bersangkutan.
2. Berdasarkan usul BP-PTS Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi melakukan penelitian/penilaian sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apabila usul persetujuan itu dinilai telah memenuhi Persyaratan, selanjutnya diteruskan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Surat persetujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan disampaikan kepada BP-PTS dengan tembusan kepada Direktur Jendral Pendidikan Tinggi dan Koordinator Kopertis yang bersangkutan.
4. Berdasarkan persetujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, BP-PTS menerbitkan Surat Keputusan pengangkatan pimpinan PTS.
5. Pemberhentian pimpinan PTS sebelum masa jabatannya berakhir dilakukan setelah memperoleh persetujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
6. Masa jabatan pimpinan PTS adalah 4 (empat) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih dari 2 kali masa jabatan berturut-turut;
7. Apabila pimpinan PTS berhalangan tetap/meninggal dunia, maka jabatan pimpinan dimaksud dijabat sementara oleh Pembantu Pimpinan Bidang Akademik sampai ditetapkan penggantinya secara difinitif;
8. Bagi PTS yang pengangkatan Pimpinannya belum mengacu kepada PP 30 tahun 1990, diberi kesempatan sampai akhir pelita V (Maret 1994) untuk menyesuaikannya.

C. Data Pendukung
1. Surat rekomendasi persetujuan Kopertis;
2. Surat ijin dari instansi dari pimpinan istansi bagi calon yang berstatus PNS/ABRI dan yang bersangkutan dibebaskan dari segala tugas-tugas dan jabatan selama diangkat sebagai pimpinan PTS sesuai peraturan yang berlaku.
3. Berita acara rapat senat tentang proses dan persetujuan pemilihan calon dengan dilampirkan daftar hadir rapat;
4. Fotocopy ijazah terakhir yang dilegalisir;
5. Fotocopy SK jabatan akademik terakhir;
6. Riwayat pendidikan;
7. Riwayat hidup/pekerjaan;
8. Surat keterangan tidak terlibat G30-S PKI dan organisasi terlaranag lainnya dari instansi yang berwenang;
9. Berdomisili di kota PTS dan sanggup bertugas penuh sebagai pimpinan PTS;
10. Surat keterangan domisili.
Ketentuan ini mulai berlaku bagi Pimpinan PTS yang diangkat untuk masa jabatan sejak 1 Agustus 1998 dan seterusnya.
Selanjutnya dengan terbitnya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Dirjen Dikti No 4039/D/T/93 tanggal 13 September 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Demikianlah untuk diketahui dan diinformasikan kepada seluruh BP-PTS/PTS di wilayah Kopertis Saudara. Atas perhatian dan kerjasama Saudara saya ucapkan terima kasih.




Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi,

t.t.d.

Prof.Dr.Ir. Bambang Soehendro, MSc
NIP. 130 344 444



Tembusan kepada Yth. :
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sebagai laporan)
Sekretaris Jenderal Depdikbud;
Inspektur Jenderal Depdikbud;
Direktur Perguruan Tinggi Swasta Ditjen Dikti;










SALINAN SURAT EDARAN
DIREKTORAN JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


Nomor : 2705/D/T/1998 Tanggal 2 September 1998
Perihal : Surat Edaran tentang Persyaratan dan Prosedur Pengangkatan Pimpinan PTS

Pada : Yth. Saudara Koordinator
Kopertis Wilayah I - XII
se- Indonesia

Dengan hormat;
Sehubungan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990, tentang Pendidikan tinggi khususnya untuk memenuhi ketentuan ayat (2,2a dan 3) pasal 38, 62, 75 dan 88, maka perlu diatur persyaratan dan prosedur sebagai berikut:

A. DASAR PERTIMBANGAN
1. Ayat (2) dan (2a) Pasal 38, Pasal 62, Pasal 75, dan Pasal 898 PP NO. 57 Tahun 1998 pada dasarnya menetapkan :
a) Pimpinan PTS diangkat dan diberhentikan oleh Yayasan setelah mendapat pertimbangan Senat dan dilaporkan kepada Menteri;
b) Menteri dapat membatalkan pengangkatan Pimpinan PTS apabila Pimpinan PTS yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
2. Berdasarkan ketentuan tersebut maka perlu kiranya diatur ketentuan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2a) Pasal 38, Pasal 62, Pasal 75 dan Pasal 88 PP No. 57 Tahun 1998.

B. PERSYARATAN
1. Persyaratan Umum.
a. Minimal berijazah Sarjana (S1) atau setara;
b. Minimal telah 4 (empat) tahun menjadi dosen di perguruan tinggi;
c. Mendapat penilaian layak menjadi pimpinan PTS melalui pertimbangan senat perguruan tinggi.
2. Persyaratan Administrasi
a. Pertimbagnan Senat PTS;
b. Persetujuan dari atasan instansi yang bersangkutan bagi calon yang tidak berstatus dosen tetap PTS tersebut;
c. Berdomisili di kota PTS yang akan dipimpin dan sanggup bertugas penuh sebagai pimpinan dan tidak merangkap sebagai Pengurus Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta (BP-PTS) yang bersangkutan.

C. PROSEDUR
1. Senat Perguruan Tinggi menyelenggarakan Rapat Senat untuk memberi pertimbang-an kelayakan calon pimpinan PTS sesuai dengan ketentuan yang diatur dalamStatuta Perguruan Tinggi dan/atau Ketentuan yang disepakati oleh Senat Perguruan Tinggi dan BP-PTS;
2. BP-PTS memilih salah seorang dari calon-calon pimpinan perguruan tinggi yang telah mendapat pertimbangan senat perguruan tinggi;
3. BP-PTS mengangkat Pimpinan PTS setelah memenuhi persyaratan Umum dan Administrasi tersebut di atas;
4. BP-PTS melaporkan pengangkatan tersebut pada point 1 di atas kepada Mendikbud melalui Dirjen Dikti dengan tembusan pada Kopertis setempat dengan melampirkan :
a. SK pengangkatan dan naskah pelantikan;
b. Berita acara rapat senat tentang proses pertimbangan oleh Senat dan daftar hadir;
c. Fotocopy ijazah S1 dan ijazah terakhir, serta fotocopy SK Penyetaraan ijazah dari Dirjen Dikti bagi kelulusan luar negeri;
d. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP);
e. Riwayat hidup/pekerjaan dan pendidikan (curriculum vitae);
f. Surat ijin dari atasan bagi yang tidak berstatus dosen tetap PTS yang bersangkutan;
g. Surat pernyataan yang berisi:
 sanggup bertugas penuh sebagai pimpinan PTS yang bersangkutan,
 tidak merangkap sebagai pimpinan pada PTS lain;
 tidak merangkap sebagai pengurus BP-PTS yang bersangkutan.
5. Masa jabatan pimpinan PTS adalah 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih dari 2 kali masa jabatan berturut-turut;
6. Apabila pimpinan PTS berhalangan tetap/meninggal dunia, maka jabatan pimpinan dimaksud dijabat sementara oleh Pembantu Pimpinan Bidang Akademik sampai ditetapkan penggantinya secara difinitif;
7. Pemberhentian pimpinan PTS sebelum masa jabatan berakhir harus memenuhi persyaratan sebagaimana persyaratan pengangkatannya dan dilaporkan kepada Mendikbud u.p. Dirjen Dikti.

D. LAIN-LAIN
Ketentuan ini mulai berlaku bagi Pimpinan PTS yang diangkat untuk masa jabatan sejak 1 Agustus 1998 dan seterusnya.
Selanjutnya dengan terbitnya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Dirjen Dikti No 4039/D/T/93 tanggal 13 September 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Demikianlah untuk dapat dipakai sebagai acuan serta disebar-luaskan kepada seluruh BP-PTS/PTS di wilayah Saudara. Atas perhatian Saudara saya ucapkan terima kasih.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi,

t.t.d.

Prof.Dr.Ir. Bambang Soehendro, MSc
NIP. 130 344 444

Tembusan kepada Yth. :
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sebagai laporan)
Inspektur Jenderal Depdikbud;
Direktur Perguruan Tinggi Swasta Ditjen Dikti;
BM-PTSI Pusat dan Wilayah I-XII.

SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 0339/U/1994

TENTANG

KETENTUAN POKOK PENYELENGGARAAN PERGURUAN TINGGI SWASTA

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan perguruan tinggi swasta sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan perguruan tinggi swasta;
b. bahwa dipandang perlu adanya perlindungan pengguna jasa perguruan tinggi swasta, terjaminnya kegiatan tridharma perguruan tiggi dan pengembagan ilmu secara kualitatif dan agar perguruan tinggi swasta makin mandiri;
c. bahwa untuk pengaturan perguruan tinggi swasta sebagaimana tersebut dalam butir a dilakukan dengan lebih menegaskan kedudukan, tugas, fungsi, dan organisasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta sehingga dapat meningkatkan pelaksanaan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu menetapkan ketentuan pokok penyelenggaraan perguruan tinggi swasta oleh Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta.
Memperhatikan : 1. Saran dan pendapat perguruan tinggi swasta dalam sidang Istimewa Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia tanggal 13 September 1994 di Jakarta;
2. Surat Ketua Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Nomor 084/D.01/BMPTSI/IX/1994 tanggal 26 September 1994;

Melihat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia :
a. Nomor : 44 Tahun 1974
b. Nomor : 15 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah/ditambah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1994;
c. Nomor : 96/M Tahun 1993;
4. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan :
a. Nomor : 0222c/0/1980;
b. Nomor : 0135/0/1990;
c. Nomor : 0686/U/1991;
d. Nomor : 0109/O/1992;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TENTANG KETENTUAN POKOK PENYELENGGARAAN PERGURUAN TINGGI SWASTA


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Perguruan tinggi swasta selanjutnya disebut PTS adalah satuan kegiatan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam hal ini Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta.
2. Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disebut BP-PTS adalah Badan yang mendirikan dan menyelenggarakan perguruan tinggi swasta, yang dapat berbentuk yayasan, atau perkumpulan sosial, atau badan wakaf.
3. Badan Pelaksana Harian BP-PTS selanjutnya disebut Badan Pelaksana Harian atau disingkat BPH adalah badan yang dibentuk oleh BP-PTS untuk pelaksanaan langsung tugas BP-PTS sehari-hari dalam penyelenggaraan PTS.
4. Statuta adalah dasar untuk menyelenggarakan kegiatan yang dipakai sebagai acuan dalam perencanaan, pengembangan program dan penyelenggaraan kegiatan fungsional sesuai dengan tujuan perguruan tinggi swasta sebagai dengan tujuan perguruan tinggi swasta sebagai penjabaran dari ciri khusus PTS yang bersangkutan.
5. Pimpinan PTS adalah Rektor dan Pembantu Rektor pada Universitas/Institut, Ketua dan Pembantu Ketua pada Sekolah Tinggi, serta Direktur dan Pembantu Direktur pada Politeknik/Akademi.
6. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disebut Kopertis adalah unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Wilayah.
7. Menteri adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

BAB II
STRUKTUR ORGANISASI

Pasal 2

(1) BP-PTS sebagai pendiri dan penyelenggara PTS wajib membentuk BPH yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari BP-PTS.
(2) BP-PTS wajib membentuk BPH sesuai dengan jumlah PTS yang diselenggarakan.
(3) PTS merupakan pengelola dari satuan pendidikan tinggi yang didirikan dan diselenggarakan oleh BP-PTS.
(4) Selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pembentukan BPH, BP-PTS wajib melaporkan kegiatannya kepada Menteri.

Pasal 3

(1) BPH terdiri atas sekurang-kurangnya seorang Ketua merangkap Anggota, seorang Sekretaris merangkap Anggota, seorang Bendahara merangkap Anggota dan sekurang-kurangnya seorang Anggota bukan pengurus.
(2) Pengurus BPH diangkat dan diberhentikan oleh BP-PTS.
(3) Pengurus BPH bertanggung jawab kepada BP-PTS.

Pasal 4

Anggota BPH tidak dibenarkan merangkap sebagai pimpinan PTS.

Pasal 5

Masa bakti keanggotaan BPH adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.

Pasal 6

(1) Syarat pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan BPH teridiri atas syarat umum yang ditetapkan oleh Menteri dan syarat khusus yang ditetapkan oleh BP-PTS.
(2) Syarat umum sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) yang harus dimiliki calon anggota meliputi :
a. keahlian/Integritas ilmiah;
b. kejujuran dan ketaatan pada Pancasila, UUD 1945 dan GBHN;
c. surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang;
d. surat persetujuan atasan, apabila yang bersangkutan berstatus pegawai negeri sipil atau berstatus pegawai swasta;
e. persyaratan lain yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga BP-PTS.
(4) Keanggotaan BPH berakhir karena:
a. habis masa baktinya;
b. mengundurkan diri;
c. meningggal dunia;
d. diberhentikan oleh BP-PTS.
(5) Dalam proses pergantian sebagaimana dimaksud ayat (4), baik pergantian antar waktu atau berhalangan tetap, agar dipertimbangkan terpeliharanya kontinuitas kerja.

BAB III
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUGAS

Pasal 7

BPH berkedudukan di wilayah dimana PTS yang diselenggarakan berada.

Pasal 8

(1) BP-PTS sebagai pendiri dan penyelenggara PTS berfungsi membina dan mengembangkan PTS, serta bertugas menetapkan misi, tujuan, kebijaksanaan dasar (Statuta), dan kebijaksanaan strategi (Rencana Induk Pengembangan) yang bertumpu pada ketentuan yang berlaku dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga BP-PTS yang bersangkutan.
(2) BPH berfungsi dan bertugas sebagai pelaksana sehari-hari fungsi dan tugas BP-PTS sebagaimana diatur dalam ayat (1).
(3) PTS sebagai satuan pendidikan tinggi berfungsi dan bertugas :
a. sebagai pengelola sumber daya pendidikan yang mencakup tridarma perguruan tinggi;
b. menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan teknis akademis.

BAB IV
TATA HUBUNGAN

Pasal 9

(1) Menunjuk ketentuan yang disebut dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), BPH dalam menjalankan tugasnya, tunduk dan bertanggung jawab kepada BP-PTS.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan tridarma perguruan tinggi, Menteri dapat meminta laporan pelaksanaan pendidikan langsung kepada BPH, baik yang menyangkut bidang akademik maupun administrasi keuangan yang merupakan kegiatan penunjangnya.
(3) Untuk pelaksanaan ayat (2), BPH segera melapor kepada BP-PTS.

Pasal 10

Menunjuk ketentuan tersebut dalam Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 8 ayat (3), PTS dalam menjalankan tugasnya tunduk dan bertanggung jawab kepada BP-PTS serta Menteri sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB V
PENGAWASAN

Pasal 11

Sesuai ketentuan dalam Bab IV mengenai tata hubungan, yang mencakup Pasal 9 dan 10 juncto Pasal 8, BP-PTS melakukan pengawasan terhadap BPH dan terhadap PTS yang bersangkutan baik langsung maupun melalui BPH.

Pasal 12

(1) PTS wajib memberikan laporan pertanggungjawaban rutinnya kepada BPH secara berkala.
(2) Sewaktu-waktu PTS dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh BP-PTS

Pasal 13

(1) BP-PTS menyampaikan laporan sebagaimana tersebut Pasal 9 ayat (3) secara berkala atau apabila diperlukan kepada Menteri.
(2) Atas dasar laporan tersebut Menteri dapat melakukan langkah-langkah pembinaan.

BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 14

(1) Apabila terjadi perselisihan intern dalam BP-PTS atau antar BP-PTS dengan PTS atau antara BP-PTS dengan BPH atau antara sivitas akademik dengan BP-PTS dan atau dengan BPH dan PTS yang mengganggu jalannya penyelenggaraan PTS, diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat antar unsur-unsur di lingkungan BP-PTS dan PTS yang bersangkutan.
(2) Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri dapat membentuk Panitia Penyelesaian Perselisihan PTS, yang terdiri atas unsur-unsur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, BP-PTS dan pimpinan PTS, yang harus menyelesaikan tugas selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak terbentuknya panitia dimaksud.
(3) Apabila perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penyelesaiannya dilakukan pada Pengadilan Negri dalam wilayah hukum dimana BP-PTS berdomisili.

Pasal 15

Demi kelancaran kegiatan belajar-mengajar dan selama perselisihan belum terselesaikan, Menteri bersama BP-PTS dapat menunjuk sementara Pimpinan PTS maupun BPH.



BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

(1) BP-PTS yang PTS-nya sudah memiliki status, wajib menyesuaikan dengan Keputusan ini dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun seteleh berlakunya Keputusan ini.
(2) Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, PTS yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB VIII
PENUTUP

Pasal 17

Hal-hal lain yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur dalam keputusan tersendiri.

Pasal 18

Dengan berlakunya Keputusan ini, semua ketentuan yang bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 19

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 1994

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,

ttd

Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
2. Inspektur Jenderal Departemen Perdidikan dan Kebudayaan,
3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
4. Kepala Badan Penelian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
5. Sekretaris Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
6. Rektor Universitas/Ketua Sekolah Tinggi/Direktur Akademi/Politeknik di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
7. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
8. Komisi IX DPR-RI,
9. Yang bersangkutan untuk dipergunakan seperlunya.

Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan

ttd

Mardiyah




























SALINAN SURAT EDARAN
DIREKTORAN JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN NASIONAL

27 Juni 2001

Nomor : 2209/D/T/2001
Lampiran :
Perihal : Permohonan Rekomendasi Akademi
Bidang Kesehatan yang diselenggarakan
oleh Masyarakat

Kepada : Yth. Sdr. Koordinator
Kopertis Wilayah I-XII
Se-Indonesia

Dengan hormat,

Sehubungan dengan adanya surat-surat permohonan rekomendasi untuk pendirian akademi bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat bersama ini saya sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 "Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan Nasional";
2. Bahwa sesuai surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi kepada Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan No. 3062/D/T/1999 tanggal 10 Desember 1999 (copy surat terlampir) dan berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 1989, Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999, Keputusan Mendikbud No. 234/U/2000 dan Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi No. 108/DIKTI/Kep/2001, maka pendirian perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang dalam nomenklatur disebut perguruan tinggi swasta diproses melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
3. Berkaitan dengan Surat Keputusan Bersama Mendikbud dengan Menkes No.017a/U/1998 dan No. 108/MENKES/SKB/.II/1998, berdasarkan perkembangan yang terjadi terutama dengan pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan beberapa kantor wilayah Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial telah bergabung dalam Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah, maka perlu mengadakan peninjauan kembali terhadap keberadaan Surat Keputusan Bersama tersebut;
4. Berdasarkan point 1 dan 2 tersebut di atas, saya mohon agar Saudara memberitahukan kepada masyarakat, baik yang akan mendirikan perguruan tinggi swasta di bidang kesehatan, maupun yang telah menyelenggarakan, yang ijinnya bukan dari Depdiknas untuk mengajukan usulannya ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan berpedoman kepada Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi No. 108/DIKTI/Kep/2001, agar ijazah lulusannya sah dan mempunyai civil effect.

Demikianlah untuk dilaksanakan, atas perhatian dan kerjasama Saudara saya ucapkan terima kasih.


Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

ttd


Satryo Soemantri Brodjonegoro
NIP. 130 889 802


Tembusan
1. Menteri Pendidikan Nasional (sebagai laporan);
2. Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial di Jakarta;
3. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara di Jakarta;
4. Kepala Badan Kepegawaian Negara di Jakarta;
5. Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan;
6. Sekretaris dan Direktur di lingkungan Ditjen Dikti;
7. Ketua Umum APTISI Pusat dan Wilayah.

































PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 60 TAHUN 1999
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN TINGGI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah.
2. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
3. Pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya.
4. Pendidikan profesional adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.
5. Dosen adalah tenaga pendidik atau kependidikan pada perguruan tinggi yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar.
6. Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu.
7. Statuta adalah pedoman dasar penyelenggaraan kegiatan yang dipakai sebagai acuan untuk merencanakan, mengembangkan program dan penyelenggaraan kegiatan fungsional sesuai dengan tujuan perguruan tinggi yang bersangkutan, yang berisi dasar yang dipakai sebagai rujukan pengembangan peraturan umum, peraturan akademik dan prosedur operasional yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan.
8. Pimpinan perguruan tinggi adalah Rektor untuk universitas/ institut, Ketua untuk sekolah tinggi, dan Direktur untuk politeknik/akademi.
9. Penyelenggara perguruan tinggi adalah Departemen, departemen lain, atau pimpin-an lembaga Pemerintah lain bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, atau badan penyelenggara perguruan tinggi swasta bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
10. Sivitas akademika adalah satuan yang terdiri atas dosen dan mahasiswa pada perguruan tinggi.
11. Departemen adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan nasional.
13. Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah adalah pejabat yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan satuan pendidikan tinggi di luar lingkungan Departemen.

BAB II
TUJUAN PENDIDIKAN TINGGI

Pasal 2

(1) Tujuan pendidikan tinggi adalah :
a. menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;
b. mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
(2) Penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada :
a. tujuan pendidikan nasional;
b. kaidah, moral dan etika ilmu pengetahuan;
c. kepentingan masyarakat; serta
d. memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi.

BAB III
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI

Pasal 3
(1) Perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi dan penelitian serta pengabdian kepada masyarakat.
(2) Pendidikan tinggi merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Penelitian merupakan kegiatan telaah taat kaidah dalam upaya untuk menemukan kebenaran dan/atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.
(4) Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.

Pasal 4
(1) Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
(2) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
(3) Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.
(4) Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.

Pasal 5
(1) Pendidikan akademik terdiri atas Program Sarjana dan Program Pasca Sarjana.
(2) Program Pasca Sarjana meliputi Program Magister dan Program Doktor.
(3) Pendidikan profesional terdiri atas Program Diploma I, Diploma II, Diploma III, dan Diploma IV.
(4) Pendidikan akademik dan pendidikan profesional diselenggarakan dengan cara tatap muka dan/atau jarak jauh.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh Menteri.

Pasal 6
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi, yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas.
(2) Akademi menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu.
(3) Politeknik menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
(4) Sekolah tinggi menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu.
(5) Institut menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian yang sejenis.
(6) Universitas menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.

Pasal 7
(1) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau pelatihan dan/atau keterampilan bahasa daerah yang ber-sangkutan.
(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh di perlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau pelatihan dan/atau ketrampilan.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 8
(1) Tahun akademik penyelenggaraan pendidikan tinggi dimulai pada bulan September.
(2) Tahun akademik dibagi dalam minimum 2 (dua) semester yang masing-masing terdiri atas minimum 16 minggu.
(3) Pada akhir penyelenggaraan program pendidikan akademik dan/ atau pendidikan profesional diadakan wisuda.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh pimpinan masing-masing perguruan tinggi.

Pasal 9
(1) Administrasi akademik pendidikan tinggi diselenggarakan dengan menerapkan sistem kredit semester.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 10
(1) Pendidikan tinggi diselenggarakan melalui proses pembelajaran yang mengembangkan kemampuan belajar mandiri.
(2) Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dapat dilakukan kuliah, seminar, simposium, diskusi panel, lokakarya, praktika dan kegiatan ilmiah lain.

Pasal 11
(1) Perguruan tinggi mengatur dan menyelenggarakan seleksi penerimaan mahasiswa baru.
(2) Penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dilakukan dengan tetap memperhatikan kekhususan perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Warga negara asing dapat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat(2) diatur oleh pimpinan masing-masing perguruan tinggi, dan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 12

Pendidikan tinggi dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang diadakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen atau departemen lain atau lembaga Pemerintah lain, atau oleh satuan pendidikan yang diadakan oleh masyarakat.
BAB IV
KURIKULUM
Pasal 13
(1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan dalam program-program studi atas dasar kurikulum yang disusun oleh masing-masing perguruan tinggi.
(2) Kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada kurikulum yang berlaku secara nasional.
(3) Kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri.

Pasal 14
Beban studi dan masa studi untuk menyelesaikan setiap program studi pendidikan tinggi diatur oleh Menteri.

BAB V
PENILAIAN HASIL BELAJAR
Pasal 15
(1) Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar mahasiswa dilakukan penilaian secara berkala yang dapat berbentuk ujian, pelaksanaan tugas, dan pengamatan.
(2) Ujian dapat diselenggarakan melalui ujian semester, ujian akhir program studi, ujian skripsi, ujian tesis, dan ujian disertasi.
(3) Dalam bidang-bidang tertentu penilaian hasil belajar untuk Program Sarjana dapat dilaksanakan tanpa ujian skripsi.
(4) Penilaian hasil belajar dinyatakan dengan huruf A, B, C, D, dan E yang masing-masing bernilai 4, 3, 2, 1 dan 0.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat(3) diatur oleh senat masing-masing perguruan tinggi.

Pasal 16
(1) Ujian akhir program studi suatu program sarjana dapat terdiri atas ujian komprehensif atau ujian karya tulis, atau ujian skripsi.
(2) Ujian tesis diadakan dalam rangka penilaian hasil belajar pada akhir studi untuk memperoleh gelar Magister.
(3) Ujian disertasi diadakan dalam rangka penilaian hasil belajar pada akhir studi untuk memperoleh gelar Doktor.

BAB VI
KEBEBASAN AKADEMIK DAN OTONOMI KEILMUAN
Pasal 17
(1) Kebebasan akademik termasuk kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan kebebasan yang dimiliki anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu penge-tahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri.
(2) Pimpinan perguruan tinggi mengupayakan dan menjamin agar setiap anggota sivitas akademika dapat melaksanakan kebebasan akademik dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya secara mandiri sesuai dengan aspirasi pribadi dan dilandasi oleh norma dan kaidah keilmuan.
(3) Dalam melaksanakan kegiatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap anggota sivitas akademika harus mengupayakan agar kegiatan serta hasilnya meningkatkan pelaksanaan kegiatan akademik perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4) Dalam melaksanakan kebebasan akademik setiap anggota sivitas akademika harus bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan dan hasilnya sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan.
(5) Dalam melaksanakan kegiatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan perguruan tinggi dapat mengijinkan penggunaan sumber daya perguruan tinggi, sepanjang kegiatan tersebut tidak ditujukan untuk merugikan pribadi lain semata-mata untuk memperoleh keuntungan materi bagi pribadi yang melakukannya.
Pasal 18
(1) Kebebasan mimbar akademik berlaku sebagai bagian dari kebebasan akademik yang memungkinkan dosen menyampaikan pikiran dan pendapat secara bebas di perguruan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan.
(2) Perguruan tinggi dapat mengundang tenaga ahli dari luar perguruan tinggi yang bersangkutan untuk menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan dalam rangka pelaksanaan kebebasan akademik.
Pasal 19
(1) Pelaksanaan kebebasan akademik diarahkan untuk memantapkan terwujudnya pengembangan diri sivitas akademika,ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
(2) Dalam merumuskan pengaturan pelaksanaan kebebasan akademik senat perguruan tinggi harus berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 20
(1) Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perguruan tinggi dan sivitas akademika berpedoman pada otonomi keilmuan.
(2) Perwujudan otonomi keilmuan pada perguruan tinggi diatur dan dikelola oleh senat perguruan tinggi yang bersangkutan.

BAB VII
GELAR DAN SEBUTAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI

Pasal 21
(1) Lulusan pendidikan akademik dapat diberikan hak untuk menggunakan gelar akademik.
(2) Lulusan pendidikan profesional dapat diberikan hak untuk menggunakan sebutan profesional.
(3) Gelar akademik adalah Sarjana, Magister, dan Doktor.

Pasal 22
(1) Gelar akademik Sarjana dan Magister ditempatkan di belakang nama pemilik hak atas penggunaan gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf S. untuk Sarjana dan huruf M. untuk Magister disertai singkatan nama kelompok bidang ilmu.
(2) Gelar akademik Doktor ditempatkan di depan nama pemilik hak atas penggunaan gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf Dr.
(3) Sebutan profesional Ahli Pratama bagi lulusan Program Diploma I, Ahli Muda bagi lulusan Program Diploma II, Ahli Madya bagi lulusan Program Diploma III dan Sarjana Sains Terapan bagi lulusan Program Diploma IV ditempatkan di belakang nama pemilik hak atas penggunaan sebutan yang bersangkutan.
(4) Jenis gelar dan sebutan, singkatan dan penggunaannya sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 23
(1) Gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi luar negeri tetap memakai pola dan cara pemakaian yang berlaku di negara asal.
(2) Gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi luar negeri tidak dibenarkan untuk disesuaikan/diterjemahkan menjadi gelar atau sebutan lulusan perguruan tinggi di Indonesia.
(3) Gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak dibenarkan untuk disesuaikan/diterjemahkan menjadi gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi di luar negeri.

Pasal 24
Syarat pemberian gelar akademik atau sebutan profesional meliputi :
a. penyelesaian semua kewajiban pendidikan akademik dan/atau profesional yang harus dipenuhi dalam mengikuti suatu program studi;
b. penyelesaian semua kewajiban administrasi dan keuangan berkenaan dengan prog-ram studi yang diikuti.

Pasal 25
(1) Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dapat diberikan kepada seseorang yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan atau kemanusiaan.
(2) Pemberian gelar Doktor Kehormatan diusulkan oleh senat fakultas dan dikukuhkan oleh senat universitas/institut.
(3) Gelar Doktor Kehormatan hanya dapat diberikan oleh universitas/institut yang memiliki wewenang menyelenggarakan program pendidikan Doktor.
(4) Prosedur pengusulan, pemberian, dan penggunaan gelar Doktor Kehormatan diatur oleh Menteri.

Pasal 26
Gelar akademik atau sebutan profesional yang diperoleh secara sah tidak dapat dicabut atau ditiadakan.
BAB VIII
SUSUNAN PERGURUAN TINGGI
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 27
Perguruan tinggi terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut :
a. dewan penyantun;
b. unsur pimpinan;
c. unsur tenaga pengajar para dosen;
d. senat perguruan tinggi;
e. unsur pelaksana akademik :
1) bidang pendidikan;
2) bidang penelitian;
3) bidang pengabdian kepada masyarakat;
f. unsur pelaksana administratif;
g. unsur penunjang untuk pelaksana yang meliputi :
1) perpustakaan;
2) laboratorium;
3) bengkel;
4) kebun percobaan;
5) pusat komputer;
6) bentuk lain yang dianggap perlu untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan akademik dan/atau profesional pada perguruan tinggi yang bersangkutan.

Pasal 28
(1) Dewan penyantun yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat diadakan untuk ikut mengasuh dan membantu memecahkan permasalahan perguruan tinggi yang bersangkutan.
(2) Anggota dewan penyantun diangkat oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Pengurus dewan penyantun dipilih oleh dan di antara para anggota dewan penyantun.
Pasal 29
(1) Pimpinan perguruan tinggi sebagai penanggungjawab utama pada perguruan tinggi, disamping melakukan arahan serta kebijaksanaan umum, juga menetapkan peraturan, norma dan tolok ukur penyelenggaraan pendidikan tinggi atas dasar keputusan senat perguruan tinggi.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. di bidang akademik, pimpinan perguruan tinggi bertanggung jawab kepada Menteri;
b. di bidang administrasi dan keuangan, pimpinan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah bertanggung jawab kepada Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain, sedangkan pimpinan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat bertanggung jawab kepada badan yang menyelenggarakan perguruan tinggi yang ber-sangkutan.
(3) Pimpinan perguruan tinggi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh :
a. Pembantu Rektor untuk universitas/institut;
b. Pembantu Ketua untuk sekolah tinggi;
c. Pembantu Direktur untuk politeknik/akademik.
Pasal 30
(1) Senat perguruan tinggi merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
(2) Senat perguruan tinggi mempunyai tugas pokok :
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan perguruan tinggi;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian sivitas akademika;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan pendidikan tinggi;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perguruan tinggi yang diajukan oleh pimpinan perguruan tinggi;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan perguruan tinggi dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan pada perguruan tinggi yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara perguruan tinggi berkenaan dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Rektor/Ketua/Direktur perguruan tinggi dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor;
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika; dan
i. mengukuhkan pemberian gelar Doktor Kehormatan pada universitas/institut yang memenuhi persyaratan.
(3) Senat perguruan tinggi terdiri atas guru besar, pimpinan perguruan tinggi, dekan, dan wakil dosen.
(4) Senat perguruan tinggi diketuai oleh Rektor/Ketua/Direktur, didampingi oleh seorang Sekretaris yang dipilih di antara anggota.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, senat perguruan tinggi dapat membentuk komisi-komisi yang beranggotakan anggota senat perguruan tinggi dan bila dianggap perlu ditambah anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat perguruan tinggi diatur dalam statuta perguruan tinggi yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta perguruan tinggi ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua jenjang struktur organisasi perguruan tinggi ditetapkan oleh senat perguruan tinggi.
Pasal 30
(1) Pelaksana akademik di bidang pendidikan dapat berbentuk fakultas, jurusan, atau laboratorium.
(2) Fakultas mengkoordinasi dan/atau melaksanakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu atau seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
(3) Jurusan melaksanakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu atau seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
(4) Laboratorium/studio menunjang pelaksanaan pendidikan pada jurusan dalam pendidikan akademik dan/atau profesional.
Pasal 31
(1) Pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik diselenggarakan penelitian sebagai bagian dari ke-giatan akademik.
(2) Pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional dapat diselenggarakan penelitian sebagai bagian dari program kegiatan pendidikannya.
(3) Kegiatan penelitian pada satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan di laboratorium, jurusan, fakultas atau pusat penelitian.
(4) Penelitian yang bersifat antar-bidang, lintas-bidang dan/atau multi-bidang dapat diselenggarakan di pusat penelitian.
Pasal 33
(1) Satuan pelaksana administratif pada perguruan tinggi menyelenggarakan pelayanan teknis dan administratif yang meliputi administrasi akademik, administrasi keuangan, administrasi umum, administrasi kemahasiswaan, administrasi perencanaan dan sistem informasi.
(2) Pimpinan satuan pelaksana administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh dan bertanggung jawab langsung kepada pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 34
(1) Unsur penunjang pada perguruan tinggi merupakan perangkat pelengkap di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang ada di luar fakultas, jurusan, dan laboratorium.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas perpustakaan, pusat komputer, laboratorium, kebun percobaan, bengkel dan bentuk lain yang dianggap perlu untuk menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional di perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Pimpinan unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh dan bertanggung jawab langsung kepada pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Universitas dan Institut

Pasal 35
Organisasi universitas/institut terdiri atas :
a. unsur pimpinan : Rektor dan Pembantu Rektor;
b. senat universitas/institut;
c. unsur pelaksana akademik : fakultas, lembaga penelitian, dan lembaga pengabdian kepada masyarakat;
d. unsur pelaksana administrasi : biro;
e. unsur penunjang : unit pelaksana teknis;
f. unsur lain yang dianggap perlu.

Pasal 36
Universitas/Institut dipimpin oleh seorang Rektor dan dibantu oleh Pembantu Rektor yang terdiri atas Pembantu Rektor bidang Akademik, Pembantu Rektor bidang Administrasi Umum, dan Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan.

Pasal 37
(1) Rektor memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi universitas/institut serta hubungan dengan lingkungannya.
(2) Bilamana Rektor berhalangan tidak tetap, Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Rektor.
(3) Bilamana Rektor berhalangan tetap, penyelenggara perguruan tinggi mengangkat Pejabat Rektor sebelum diangkat Rektor tetap yang baru.

Pasal 38
(1) Pembantu Rektor bertanggung jawab langsung kepada Rektor universitas/institut yang bersangkutan.
(2) Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan akademik membantu Rektor dalam memimpin pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan administrasi umum membantu Rektor dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan, dan administrasi umum.
(4) Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan kemahasiswaan membantu Rektor dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan, serta pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

Pasal 39
(1) Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut yang ber-sangkutan.
(2) Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh badan penyelenggara universitas/institut yang bersangkutan setelah mendapat pertim-bangan senat universitas/institut.
(3) Apabila rektor universitas/institut yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, Menteri bisa meminta badan penyelenggara universitas/institut untuk mengulang proses pengangkatan.
(4) Pimpinan dan anggota badan penyelenggara universitas/institut yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan universitas/institut yang bersangkutan.
(5) Pembantu Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Rektor setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut .
(6) Pembantu Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh Rektor setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut dan pertimbangan badan penyelenggara universitas/institut.

Pasal 40
(1) Masa jabatan Rektor dan Pembantu Rektor adalah 4 (empat) tahun.
(2) Rektor dan Pembantu Rektor dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.

Pasal 41
(1) Senat universitas/institut merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi di universitas/institut yang bersangkutan.
(2) Senat universitas/institut mempunyai tugas pokok :
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan universitas/institut;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian sivitas akademi;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan pendidikan tinggi;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja universitas/institut yang diajukan oleh pimpinan universitas/institut;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan universitas/institut atas pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan pada universitas/institut yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara universitas/institut berkenaan dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Rektor universitas/institut dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor;
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika; dan
i. mengukuhkan pemberian gelar Doktor Kehormatan pada universitas/institut yang memenuhi persyaratan.
(3) Senat universitas/institut terdiri atas para guru besar, pimpinan universitas/institut, para Dekan, wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan senat.
(4) Senat universitas/institut diketuai oleh Rektor, didampingi oleh seorang Sekretaris yang dipilih diantara para anggota senat universitas/institut.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, senat universitas/institut dapat membentuk komisi-komisi yang beranggotakan anggota senat universitas/institut dan bila dianggap perlu ditambah anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat universitas/institut diatur dalam statuta universitas/institut yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta universitas/institut ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan disemua jenjang struktur organisasi universitas/institut ditetapkan oleh senat universitas/institut.
Pasal 42
(1) Pusat penelitian merupakan unsur pelaksana di lingkungan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik untuk melaksanakan kegiatan penelitian/pengkajian.
(2) Pusat penelitian dibentuk sesuai dengan keperluan penelitian dan kemampuan, terutama sumber daya manusia.
(3) Pusat penelitian terdiri atas pimpinan, tenaga peneliti dan tenaga administrasi.
(4) Pimpinan pusat penelitian bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga penelitian, atau kepada Rektor universitas/ institut bilamana tidak terdapat lembaga penelitian.

Pasal 43
(1) Lembaga penelitian merupakan unsur pelaksana di lingkungan perguruan tinggi yang mengkoordinasi, memantau, dan menilai pelaksanaan kegiatan penelitian yang diselenggarakan oleh pusat penelitian serta ikut mengusahakan serta mengendalikan administrasi sumber daya yang diperlukan.
(2) Lembaga penelitian dapat dibentuk oleh universitas/institut apabila terdapat sekurang-kurangnya empat pusat penelitian di perguruan yang bersangkutan.
(3) Lembaga penelitian terdiri atas pimpinan, tenaga ahli, dan tenaga administrasi.
(4) Pimpinan lembaga penelitian diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Rektor.

Pasal 44
(1) Pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan oleh perguruan tinggi melalui lembaga pengabdian kepada masyarakat, fakultas, pusat penelitian, jurusan, laboratorium, kelompok dan perorangan.
(2) Lembaga pengabdian kepada masyarakat merupakan unsur pelaksana di lingkungan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan ikut mengusahakan sumber daya yang diperlukan mengusahakan serta mengendalikan administrasi sumber daya yang diperlukan.
(3) Lembaga pengabdian kepada masyarakat dapat dibentuk oleh universitas/institut sesuai dengan keperluan dan kemampuan perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4) Lembaga pengabdian kepada masyarakat terdiri atas pimpinan, tenaga ahli dan tenaga administrasi.
(5) Pimpinan lembaga pengabdian kepada masyarakat diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Rektor.

Pasal 45
Organisasi fakultas terdiri dari :
a. unsur pimpinan : Dekan dan Pembantu Dekan;
b. senat fakultas;
c. unsur pelaksana akademik : jurusan, laboratorium, dan kelompok dosen;
d. unsur pelaksana administratif : bagian tata-usaha.

Pasal 46
(1) Fakultas dipimpin oleh Dekan dan dibantu oleh Pembantu Dekan, yang pada dasarnya terdiri atas Pembantu Dekan bidang Akademik, Pembantu Dekan bidang Administrasi Umum dan Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan.
(2) Dekan memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi dan administrasi fakultas, serta bertanggung jawab kepada Rektor.
(3) Pembantu Dekan bertanggung jawab kepada Dekan.

Pasal 47
(1) Masa jabatan Dekan dan Pembantu Dekan adalah 4 (empat) tahun.
(2) Dekan dan Pembantu Dekan dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.

Pasal 48
(1) Dekan Fakultas yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Rektor setelah mendapat pertimbangan senat fakultas yang bersangkutan.
(2) Dekan fakultas yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh Rektor setelah mendapat pertimbangan senat fakultas yang bersangkutan melalui prosedur yang dimuat dalam statuta universitas/institut yang bersangkutan.
(3) Pembantu Dekan fakultas yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Rektor atas usul Dekan fakultas yang bersangkutan.
(4) Pembantu Dekan fakultas yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh Rektor atas usul Dekan fakultas yang dimuat dalam statuta universitas/institut yang bersangkutan.

Pasal 49
(1) Senat fakultas merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi dilingkungan fakultas yang memiliki wewenang untuk menjabarkan kebijakan dan peraturan universitas/institut untuk fakultas yang bersangkutan.
(2) Tugas pokok senat fakultas adalah :
a. merumuskan kebijakan akademik fakultas;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian dosen;
c. merumuskan norma dan tolok ukur pelaksanaan penyelenggaraan fakultas;
d. menilai pertanggungjawaban pimpinan fakultas atas pelaksanaan kebijakan akademik yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. memberikan pertimbangan kepada pimpinan universitas/ institut mengenai calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi pimpinan fakultas.
(3) Senat fakultas terdiri atas guru besar, pimpinan fakultas, ketua jurusan atau ketua bagian dan wakil dosen.
(4) Senat fakultas diketuai oleh Dekan yang dibantu oleh seorang sekretaris senat yang dipilih di antara anggotanya.

Pasal 50
(1) Jurusan merupakan unit pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan akademik dan/atau profesional dan bila memenuhi syarat dapat melaksanakan pendidikan program pasca sarjana dalam sebagian atau satu cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
(2) Dalam jurusan dapat dibentuk laboratorium dan/atau studio.
(3) Jurusan terdiri atas :
a. unsur pimpinan : Ketua dan Sekretaris jurusan;
b. unsur pelaksana akademik : para dosen.
(4) Jurusan dipimpin oleh Ketua yang dibantu oleh Sekretaris.
(5) Ketua jurusan bertanggung jawab kepada Dekan fakultas yang membawahinya.
(6) Ketua dan Sekretaris jurusan diangkat untuk masa 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.
(7) Bilamana jurusan mempunyai laboratorium dan/atau studio, satuan pelaksana tersebut dipimpin oleh seorang Kepala.
(8) Ketua dan Sekretaris jurusan serta Ketua laboratorium/studio diangkat dan diberhentikan oleh Rektor atas usul Dekan setelah mendapat pertimbangan senat fakultas.

Pasal 51
Laboratorium/studio dipimpin oleh seorang dosen yang keahliannya telah memenuhi persyaratan sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu dan bertanggung jawab kepada Ketua jurusan.

Pasal 52
(1) Penyelenggaraan program studi dipimpin oleh Ketua program studi atau etua jurusan.
(2) Ketua program studi bertanggung jawab kepada pimpinan satuan pelaksana akademik yang membawahinya.
(3) Ketua program studi diangkat oleh Rektor atas usul pimpinan satuan pelaksana akademik yang membawahinya.
(4) Masa jabatan Ketua program studi adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.

Pasal 53
(1) Pada jurusan yang memenuhi syarat dapat diselenggarakan program studi Pasca Sarjana.
(2) Syarat penyelenggaraan program studi Pasca Sarjana diatur oleh Menteri.

Pasal 54
(1) Pada universitas/institut yang menyelenggarakan program studi Pasca Sarjana dapat diangkat seorang Direktur Program Pasca Sarjana.
(2) Direktur Program Pasca Sarjana diangkat dan diberhentikan oleh Rektor setelah mendapat pertimbangan senat universitas/ institut.
(3) Direktur Program Pasca Sarjana bertanggung jawab kepada Rektor.
(4) Direktur Program Pasca Sarjana diangkat untuk masa 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.
(5) Direktur Program Pasca Sarjana mengkoordinasikan semua program studi Pasca Sarjana untuk menjamin baku mutu pendidikan.
(6) Program studi Pasca Sarjana yang bersifat lintas jurusan dapat diletakkan di bawah tanggung jawab Direktur Program Pasca Sarjana.

Pasal 55
(1) Satuan pelaksana yang menyelenggarakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) pada universitas/institut berbentuk biro.
(2) Biro dipimpin oleh Kepala Biro yang bertanggung jawab kepada Rektor.
(3) Biro dapat terdiri atas :
a. biro administrasi akademik;
b. biro administrasi keuangan;
c. biro administrasi umum;
d. biro administrasi kemahasiswaan;
e. biro administrasi perencanaan dan sistem informasi.

Pasal 56
(1) Setiap universitas/institut harus memiliki perpustakaan, pusat komputer, laboratorium/studio, dan unsur penunjang lain yang diperlukan untuk penyelenggaraan perguruan tinggi.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 yang berbentuk unit pelaksana teknis dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh dan yang bertanggung jawab kepada Rektor.

Pasal 57

(1) Pendidikan tinggi yang diselenggarakan dengan cara jarak jauh dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan dan setelah mendapat persetujuan Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Sekolah Tinggi

Pasal 58
(1) Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional dan/atau program pen-didikan akademik.
(2) Persyaratan sekolah tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 59
Organisasi sekolah tinggi terdiri atas :
a. unsur pimpinan : Ketua dan Pembantu Ketua;
b. senat sekolah tinggi;
c. unsur pelaksana akademik : jurusan, pusat penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, laboratorium/studio dan kelompok dosen;
d. unsur pelaksana administratif : bagian;
e. unsur penunjang : unit pelaksana teknis;
f. unsur lain yang dianggap perlu.

Pasal 60
Sekolah tinggi dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh Pembantu Ketua yang terdiri atas Pembantu Ketua bidang Akademik, Pembantu Ketua bidang Administrasi Umum, dan Pembantu Ketua bidang Kemahasiswaan.

Pasal 61
(1) Ketua memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi, dan administrasi sekolah tinggi serta hubungan dengan lingkungannya.
(2) Bilamana Ketua berhalangan tidak tetap, Pembantu Ketua bidang Akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Ketua.
(3) Bilamana Ketua berhalangan tetap, penyelenggara perguruan tinggi mengangkat Pejabat Ketua sebelum diangkat Ketua yang baru.

Pasal 62
(1) Pembantu Ketua bertanggung jawab langsung kepada Ketua.
(2) Pembantu Ketua bidang Akademik membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Pembantu Ketua bidang Administrasi Umum membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan, dan administrasi umum.
(4) Pembantu Ketua bidang Kemahasiswaan membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan kegiatan pembinaan mahasiswa, dan pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

Pasal 63
(1) Ketua sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat sekolah tinggi yang bersangkutan.
(2) Ketua sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh badan penyelenggara sekolah tinggi setelah mendapat pertimbangan senat sekolah tinggi dan dilaporkan kepada Menteri.
(3) Apabila Ketua yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, Menteri bisa meminta badan penyelenggara sekolah tinggi untuk mengulang proses pengangkatan.
(4) Pembantu ketua sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Ketua setelah mendapat pertimbangan senat sekolah tinggi.
(5) Pembantu ketua sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh Ketua setelah mendapatkan pertimbangan senat sekolah tinggi dan badan penyelenggara sekolah tinggi.
(6) Pimpinan dan anggota badan penyelenggara sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan sekolah tinggi yang bersangkutan.

Pasal 64
(1) Masa jabatan Ketua dan Pembantu Ketua adalah 4 (empat) tahun.
(2) Ketua dan Pembantu Ketua dapat diangkat dengan ketentuan tidak boleh lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.

Pasal 65
(1) Senat sekolah tinggi merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi di sekolah tinggi yang bersangkutan.
(2) Senat sekolah tinggi mempunyai tugas pokok sebagai berikut :
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan sekolah tinggi;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan pengembangan kecakapan serta kepribadiaan sivitas akademika;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan sekolah tinggi;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja sekolah tinggi yang diajukan oleh pimpinan sekolah tinggi;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan sekolah tinggi atas pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan pada sekolah tinggi yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara perguruan tinggi berkenaan dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Ketua sekolah tinggi yang bersangkutan dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor; dan
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika.
(3) Senat sekolah tinggi terdiri atas para Guru Besar, Ketua, Pembantu Ketua, Ketua jurusan, wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan senat.
(4) Senat sekolah tinggi dipimpin oleh Ketua, yang dibantu oleh Sekretaris Senat sekolah tinggi yang dipilih di antara anggota.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, senat sekolah tinggi dapat membentuk komisi-komisi yang beranggotakan anggota senat sekolah tinggi dan bila dianggap perlu ditambah anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat sekolah tinggi diatur dalam statuta sekolah tinggi yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta sekolah tinggi ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua jenjang struktur organisasi sekolah tinggi ditetapkan oleh senat sekolah tinggi.
Pasal 66
(1) Jurusan merupakan unsur pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan profesional dan bila memenuhi syarat dapat melaksanakan pendidikan akademik program sarjana dan/atau program pasca sarjana, dalam sebagian atau satu cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
(2) Dalam jurusan dapat dibentuk laboratorium dan/atau studio.
(3) Jurusan terdiri atas :
a. unsur pimpinan : Ketua dan Sekretaris jurusan;
b. unsur pelaksana : para dosen.
(4) Jurusan dipimpin oleh Ketua Jurusan yang dibantu oleh Sekretaris.
(5) Ketua Jurusan bertanggung jawab kepada Ketua.
(6) Ketua dan Sekretaris jurusan diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.
(7) Bilamana jurusan mempunyai laboratorium dan/atau studio, satuan pelaksana tersebut dipimpin oleh seorang Kepala.
(8) Ketua dan Sekretaris jurusan serta Ketua laboratorium/studio diangkat dan diberhentikan oleh Ketua setelah mendapat pertimbangan senat sekolah tinggi.

Pasal 67
Laboratorium/studio dipimpin oleh seorang dosen yang keahliannya telah memenuhi persyaratan sesuai dengan cabang ilmu, teknologi, dan/atau kesenian tertentu dan bertanggung jawab kepada Ketua jurusan.

Pasal 68
(1) Penyelenggaraan program studi dipimpin oleh Ketua program studi atau Ketua jurusan.
(2) Ketua program studi bertanggung jawab kepada pimpinan satuan pelaksana akademik yang membawahinya.
(3) Ketua program studi diangkat oleh Ketua atas usul pimpinan satuan pelaksana akademik yang membawahinya.
(4) Masa jabatan Ketua program studi adalah 4 (empat) tahun dan Ketua program studi tersebut dapat diangkat kembali.

Pasal 69
(1) Pada jurusan yang memenuhi syarat dapat diselenggarakan program studi Pasca Sarjana.
(2) Syarat penyelenggaraan program studi Pasca Sarjana diatur oleh Menteri.

Pasal 70

(1) Pada sekolah tinggi yang menyelenggarakan program studi Pasca Sarjana dapat diangkat seorang Direktur Program Pasca Sarjana.
(2) Direktur Program Pasca Sarjana diangkat dan diberhentikan oleh Ketua setelah mendapat pertimbangan senat sekolah tinggi.
(3) Direktur Program Pasca Sarjana bertanggung jawab kepada Ketua.
(4) Direktur Program Pasca Sarjana diangkat untuk masa 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.
(5) Direktur Program Pasca Sarjana mengkoordinasikan semua program studi Pasca Sarjana dalam menjamin baku mutu pendidikan.
(6) Program studi Pasca Sarjana yang bersifat lintas jurusan dapat diletakkan di bawah tanggung jawab Direktur Program Pasca Sarjana.

Pasal 71
(1) Pelaksana administrasi pada sekolah tinggi terdiri atas Bagian Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan serta Bagian Administrasi Umum.
(2) Unsur pelaksana administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Ketua.

Pasal 72
(1) Unsur penunjang pada sekolah tinggi yang dapat berbentuk unit pelaksana teknis terdiri atas : perpustakaan, pusat komputer, laboratorium dan unsur penunjang lain yang diperlukan untuk penyelenggaraan sekolah tinggi.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh dan bertang-gung jawab kepada Ketua.

Bagian Keempat
Politeknik

Pasal 73
(1) Politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional.
(2) Persyaratan penyelenggaraan pendidikan pada politeknik diatur oleh Menteri.

Pasal 74
Organisasi politeknik terdiri atas :
1. unsur pimpinan : Direktur dan Pembantu Direktur;
2. senat politeknik;
3. unsur pelaksana akademik : jurusan, laboratorium/studio, kelompok dosen, dan pusat penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;
4. unsur pelaksana administratif : bagian;
5. unsur penunjang : unit pelaksana teknis;
6. unsur lain yang dianggap perlu.

Pasal 75
Politeknik dipimpin oleh seorang Direktur dan dibantu oleh Pembantu Direktur yang terdiri atas Pembantu Direktur bidang Akademik, Pembantu Direktur bidang Administrasi Umum, dan Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan.

Pasal 76
(1) Direktur memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administratif dan administrasi politeknik yang bersangkutan serta hubungannya dengan lingkungan.
(2) Bilamana Direktur berhalangan tidak tetap, Pembantu Direktur bidang Akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Direktur.
(3) Bilamana Direktur berhalangan tetap, penyelenggara politeknik mengangkat Pejabat Direktur sebelum diangkat Direktur yang baru.

Pasal 77
(1) Pembantu Direktur bertanggung jawab langsung kepada Direktur.
(2) Pembantu Direktur bidang Akademik membantu Direktur dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Pembantu Direktur bidang Administrasi Umum membantu Direktur dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan, dan administrasi umum.
(4) Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan membantu Direktur dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan serta pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

Pasal 78
(1) Direktur politeknik yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat politeknik yang bersangkutan.
(2) Direktur politeknik yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh badan penyelenggara politeknik yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan senat politeknik dan dilaporkan kepada Menteri.
(3) Apabila Direktur yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku Menteri bisa meminta badan penyelenggara politeknik untuk mengulang proses pengangkatan.
(4) Pembantu Direktur politeknik yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Direktur setelah mendapat pertimbangan senat politeknik.
(5) Pembantu Direktur politeknik yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh Direktur setelah mendapat pertimbangan senat politeknik dan badan penyelenggara.
(6) Pimpinan dan anggota badan penyelenggara politeknik yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan politeknik yang bersangkutan.

Pasal 79
(1) Masa jabatan Direktur dan Pembantu Direktur adalah 4 (empat) tahun.
(2) Direktur dan Pembantu Direktur dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.

Pasal 80
(1) Senat politeknik merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi pada politeknik yang bersangkutan.
(2) Senat politeknik mempunyai tugas pokok :
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan politeknik ;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian sivitas akademika ;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan politeknik ;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Penda-patan dan Belanja politeknik yang diajukan oleh pimpinan politeknik ;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan politeknik atas pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan pada politeknik yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara politeknik berkenaan dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Direktur politeknik yang bersangkutan dan dosen yang akan dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor;
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika.
(3) Senat politeknik terdiri atas Direktur, Pembantu Direktur, Ketua Jurusan, wakil dosen dan unsur lain yang ditetapkan oleh senat politeknik.
(4) Senat politeknik dipimpin oleh Direktur, yang didampingi Sekretariat Senat politeknik yang dipilih diantara anggota Senat politeknik.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya senat politeknik dapat membentuk komisi-komisi yang beranggotakan anggota senat politeknik dan apabila dianggap perlu ditambah anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat politeknik diatur dalam statuta politeknik yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta politeknik ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua jenjang struktur organisasi politeknik ditetapkan oleh senat politeknik.

Pasal 81
(1) Jurusan merupakan unsur pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan profesional dalam sebagian atau satu cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
(2) Dalam jurusan dapat dibentuk laboratorium dan/atau studio.
(3) Jurusan terdiri atas :
a. Unsur pimpinan : Ketua dan Sekretaris jurusan;
b. Unsur pelaksana akademik : para dosen.
(4) Jurusan dipimpin oleh Ketua yang dibantu oleh Sekretaris.
(5) Ketua jurusan bertanggung jawab kepada Direktur.
(6) Ketua dan Sekretaris jurusan diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.
(7) Bilamana jurusan mempunyai laboratorium dan/atau studio, satuan pelaksana tersebut dipimpin oleh seorang Kepala.
(8) Ketua dan sekretaris jurusan serta Ketua laboratorium/studio diangkat dan diberhentikan Direktur.

Pasal 82
Laboratorium/studio dipimpin oleh seorang dosen yang keahliannya telah memenuhi persyaratan sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu dan bertanggung jawab kepada Ketua jurusan.

Pasal 83
(1) Penyelenggaraan program studi dipimpin oleh Ketua program studi atau Ketua jurusan.
(2) Ketua program studi bertanggung jawab kepada pimpinan satuan pelaksana akademik yang membawahinya.
(3) Ketua program studi diangkat oleh Direktur atas usul pimpinan satuan pelaksana akademik yang membawahinya.
(4) Masa jabatan Ketua program studi 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.

Pasal 84
(1) Unsur pelaksana administrasi pada politeknik terdiri atas Bagian Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan dan Bagian Administrasi Umum.
(2) Unsur pelaksana administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Direktur.

Pasal 85

(1) Unsur penunjang pada politeknik yang disebut Unit Pelaksana Teknis terdiri atas : perpustakaan, laboratorium/studio, bengkel dan unsur penunjang lain yang diperlukan untuk penyelenggaraan politeknik.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Direktur politeknik yang bersangkutan.

Bagian Kelima
Akademi

Pasal 86
(1) Akademi menyelenggarakan pendidikan profesional.
(2) Persyaratan penyelenggaraan pendidikan pada akademi diatur oleh Menteri.

Pasal 87
Organisasi akademi terdiri atas :
1. unsur pimpinan : Direktur dan Pembantu Direktur;
2. senat akademi;
3. unsur pelaksana akademik : jurusan, laboratorium/studio, kelompok dosen, dan pusat penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;
4. unsur pelaksana administratif : bagian;
5. unsur penunjang : unit pelaksana teknis;
6. unsur lain yang dianggap perlu.

Pasal 88
Akademi dipimpin oleh Direktur dan dibantu oleh pembantu Direktur yang terdiri atas Pembantu Direktur bidang Akademik, Pembantu Direktur bidang Administrasi Umum dan Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan.

Pasal 89
(1) Direktur memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administratif dan administrasi akademi bersangkutan serta hubungannya dengan lingkungan.
(2) Bilamana Direktur berhalangan tidak tetap, Pembantu Direktur bidang Akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Direktur.
(3) Bilamana Direktur berhalangan tetap, penyelenggara akademi mengangkat pejabat Direktur sebelum diangkat Direktur yang baru.

Pasal 90
(1) Pembantu Direktur bertanggung jawab langsung kepada Direktur.
(2) Pembantu Direktur bidang Akademik membantu Direktur dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
(3) Pembantu Direktur bidang Administrasi Umum membantu Direktur dalam pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan dan administrasi umum.
(4) Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan membantu Direktur dalam melaksanakan kegiatan di bidang pembinaan mahasiswa serta pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

Pasal 91
(1) Direktur akademi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat akademi yang bersangkutan.
(2) Direktur akademi yang diselenggarakan masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh badan penyelenggara akademi yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan senat akademi dan dilaporkan kepada Menteri.
(3) Apabila Direktur yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, Menteri bisa meminta badan penyelenggara akademi untuk mengulang proses pengangkatan.
(4) Pimpinan dan anggota badan penyelenggara akademi yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan akademi yang bersangkutan.
(5) Pembantu Direktur akademi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Direktur setelah mendapat pertimbangan senat akademi.
(6) Pembantu Direktur akademi yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh Direktur setelah mendapat pertimbangan senat akademi dan badan penyeleng-gara akademi.

Pasal 92
(1) Masa jabatan Direktur dan Pembantu Direktur adalah 4 (empat) tahun.
(2) Direktur dan Pembantu Direktur dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.

Pasal 93
(1) Senat akademi merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi di akademi yang bersangkutan.
(2) Senat akademi mempunyai tugas pokok :
a. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan akademi;
b. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian sivitas akademik;
c. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan akademi;
d. memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja akademi yang diajukan oleh pimpinan akademi;
e. menilai pertanggungjawaban pimpinan akademi atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan;
f. merumuskan norma dan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan akademi yang bersangkutan;
g. memberikan pertimbangan pada penyelenggara akademi berkenaan dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Direktur akademi dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor; dan
h. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika.
(3) Senat akademi terdiri atas Direktur, Pembantu Direktur, Ketua jurusan, wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan oleh senat akademi.
(4) Senat akademi dipimpin oleh Direktur, dibantu oleh Sekretaris senat akademi yang dipilih dari para anggota senat akademi.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya senat akademi dapat membentuk komisi - komisi yang beranggotakan anggota senat akademi dan apabila dianggap perlu ditambah anggota lain.
(6) Tata cara pengambilan keputusan dalam rapat senat akademi diatur dalam statuta akademi yang bersangkutan.
(7) Jabaran statuta akademi ke dalam rincian tugas unit dan uraian jabatan di semua jenjang struktur organisasi akademi ditetapkan oleh senat akademi.

Pasal 94
(1) Jurusan merupakan unsur pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan profesional dalam sebagian atau satu cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
(2) Dalam jurusan dapat dibentuk laboratorium dan/atau studio.
(3) Jurusan terdiri atas :
a. unsur pimpinan : Ketua dan Sekretaris jurusan;
b. unsur pelaksana : para dosen.
(4) Jurusan dipimpin oleh Ketua yang dibantu oleh Sekretaris.
(5) Ketua jurusan bertanggung jawab kepada Direktur.
(6) Ketua dan Sekretaris jurusan diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.
(7) Bilamana jurusan mempunyai laboratorium dan/atau studio, satuan pelaksana tersebut dipimpin oleh seorang Kepala.
(8) Ketua dan Sekretaris jurusan serta Kepala laboratorium/studio diangkat dan diberhentikan oleh Direktur, setelah mendapat pertimbangan senat akademi.

Pasal 95
Laboratorium/studio dipimpin oleh seorang dosen yang keahliannya telah memenuhi persyaratan sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu dan bertanggung jawab kepada Ketua jurusan.

Pasal 96
(1) Penyelenggara program Studi dipimpin oleh Ketua program studi atau Ketua jurusan.
(2) Ketua program studi bertanggung jawab kepada pimpinan satuan pelaksana akademik yang membawahinya.
(3) Ketua program studi diangkat oleh Direktur atas usul pimpinan satuan pelaksana akademik yang membawahinya.
(4) Ketua program studi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.

Pasal 97
(1) Unsur pelaksana administrasi pada akademi terdiri atas Bagian Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan serta Bagian Administrasi Umum.
(2) Unsur pelaksana administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Direktur.

Pasal 98
(1) Unsur penunjang pada akademi yang disebut Unit Pelaksana Teknis terdiri atas perpustakaan, laboratorium dan unsur penunjang lain yang diperlukan untuk penyelenggaraan akademi.
(2) Unsur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Direktur.

Pasal 99
Pokok-pokok Organisasi akademi di lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan diatur tersendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keenam
Organisasi masing-masing Perguruan Tinggi

Pasal 100
(1) Susunan organisasi, rincian tugas, fungsi, dan tata kerja setiap perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dalam statuta perguruan tinggi bersangkutan yang ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain atas usul senat perguruan tinggi yang bersangkutan.
(2) Susunan organisasi, rincian tugas, fungsi, dan tata kerja perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur dalam statuta perguruan tinggi bersangkutan yang ditetapkan oleh badan penyelenggara perguruan tinggi atas usul senat perguruan tinggi yang bersangkutan dengan berpedoman pada ketentuan dalam BAB VIII.

BAB IX
TENAGA KEPENDIDIKAN

Pasal 101
(1) Tenaga kependidikan di perguruan tinggi terdiri atas dosen dan tenaga penunjang akademik.
(2) Dosen adalah seorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Dosen dapat merupakan dosen biasa, dosen luar biasa, dan dosen tamu.
(4) Dosen biasa adalah dosen yang diangkat dan ditempatkan sebagai tenaga tetap pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
(5) Dosen luar biasa adalah dosen yang bukan tenaga tetap pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
(6) Dosen tamu adalah seorang yang diundang untuk mengajar pada perguruan tinggi selama jangka waktu tertentu.

Pasal 102
(1) Jenjang jabatan akademik dosen pada dasarnya terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar.
(2) Wewenang dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian jabatan akademik diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 103
Seseorang hanya dapat diangkat menjadi guru besar atau profesor di lingkungan universitas, institut, atau sekolah tinggi.

Pasal 104
(1) Syarat untuk menjadi dosen adalah :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. berwawasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar;
d. mempunyai moral dan integritas yang tinggi;
e. memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara.
(2) Syarat untuk menjadi guru besar selain sebagaimana tercantum pada ayat (1) adalah:
a. sekurang-kurangnya memiliki jabatan akademik lektor;
b. memiliki kemampuan akademik untuk membimbing calon Doktor.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi guru besar, harus diperoleh persetujuan dari senat universitas/institut/sekolah tinggi yang bersangkutan.
(4) Guru besar diangkat oleh Menteri atas usul pimpinan perguruan tinggi setelah mendapat persetujuan dari senat universitas/institut/sekolah tinggi yang bersangkutan.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh Menteri.

Pasal 105
Sebutan guru besar atau profesor hanya dapat digunakan selama yang bersangkutan melaksanakan tugas dosen di perguruan tinggi.

Pasal 106
(1) Guru besar yang telah mengakhiri masa jabatannya dapat diangkat kembali menjadi guru besar di perguruan tinggi sebagai penghargaan istimewa, dengan sebutan guru besar emeritus.
(2) Syarat pengangkatan dan tanggung jawab guru besar emeritus diatur oleh Menteri.

Pasal 107
(1) Tenaga penunjang akademik terdiri atas peneliti, pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, pranata komputer, laboran, dan teknisi sumber belajar.
(2) Persyaratan, tata cara pengangkatan dan wewenang tenaga penunjang akademik diatur oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X
MAHASISWA DAN ALUMNI

Pasal 108
(1) Untuk menjadi mahasiswa seseorang harus :
a. memiliki Surat Tanda Tamat Belajar Pendidikan Menengah;
b. memiliki kemampuan yang disyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
(2) Warga negara asing dapat menjadi mahasiswa setelah memenuhi persyaratan tambahan dan melalui prosedur tertentu.
(3) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan prosedur untuk menjadi mahasiswa diatur oleh senat perguruan tinggi.
(4) Persyaratan tambahan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat(2), diatur oleh Menteri.

Pasal 109
(1) Mahasiswa mempunyai hak :
a. menggunakan kebebasan akademik secara bertanggung jawab untuk menuntut dan mengkaji ilmu sesuai dengan norma dan susila yang berlaku dalam lingkungan akademik;
b. memperoleh pengajaran sebaik-baiknya dan layanan bidang akademik sesuai dengan minat, bakat, kegemaran dan kemampuan;
c. memanfaatkan fasilitas perguruan tinggi dalam rangka kelancaran proses belajar;
d. mendapat bimbingan dari dosen yang bertanggung jawab atas program studi yang diikutinya dalam penyelesaian studinya;
e. memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi yang diikutinya serta hasil belajarnya;
f. menyelesaikan studi lebih awal dari jadwal yang ditetapkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku;
g. memperoleh layanan kesejahteraan sesuai dengan peraturan perdang-undangan yang berlaku;
h. memanfaatkan sumberdaya perguruan tinggi melalui perwakilan/organisasi kemahasiswaan untuk mengurus dan mengatur kesejahteraan, minat dan tata kehidupan bermasyarakat;
i. pindah keperguruan tinggi lain atau program studi lain, bilamana memenuhi persyaratan penerimaan mahasiswa pada perguruan tinggi atau program studi yang hendak dimasuki, dan bila mana daya tampung pergururan tinggi atau program yang bersangkutan memungkinkan;
j. ikut serta dalam kegiatan organisasi mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan;
k. memperoleh pelayanan khusus bilamana menyandang cacat.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh pimpinan masing-masing perguruan tinggi.

Pasal 110
(1) Setiap mahasiswa berkewajiban untuk :
a. mematuhi semua peraturan/ketentuan yang berlaku pada perguruan tinggi yang bersangkutan;
b. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan perguruan tinggi yang bersangkutan;
c. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi mahasiswa yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
d. menghargai ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian;
e. menjaga kewibawaan dan nama baik perguruan tinggi yang bersangkutan;
f. menjunjung tinggi kebudayaan nasional.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh pimpinan perguruan tinggi.

Pasal 111
(1) Untuk melaksanakan peningkatan kepemimpinan, penalaran, minat, kegemaran dan kesejahteraan mahasiswa dalam kehidupan kemahasiswaan pada perguruan tinggi dibentuk organisasi kemahasiswaan.
(2) Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diseleng-garakan dari, oleh dan untuk mahasiswa.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 112
(1) Alumni perguruan tinggi adalah seseorang yang tamat pendidikan di perguruan tinggi yang bersangkutan
(2) Alumni perguruan tinggi dapat membentuk organisasi alumni yang bertujuan untuk membina hubungan dengan perguruan tinggi yang bersangkutan dalam upaya untuk menunjang pencapaian tujuan pendidikan tinggi.

BAB XI
SARANA DAN PRASARANA

Pasal 113
(1) Pengelolaan sarana dan prasarana yang diperoleh dengan dana yang berasal dari Pemerintah diselenggarakan berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi pengelolaan kekayaan milik negara.
(2) Pengelolaan sarana dan prasarana yang diperoleh dengan dana yang berasal masyarakat dan pihak luar negeri yang diluar penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dengan ketentuan yang ditetapkan pimpinan perguruan tinggi dengan persetujuan senat perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Tata cara pendayagunaan sarana dan prasarana untuk memperoleh dana guna menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi perguruan tinggi, di atur pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan dengan persetujuan senat perguruan tinggi yang bersangkutan.

BAB XII
PEMBIAYAAN

Pasal 114
(1) Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan pihak luar negeri.
(2) Penggunaan dana yang berasal dari Pemerintah baik dalam bentuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan serta subsidi diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah perolehan dana perguruan tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut :
a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);
b. biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;
c. hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi;
d. hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi;
e. sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga non-Pemerintah; dan
f. penerimaan dari masyarakat lainnya.
(4) Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar negeri diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat didasarkan atas pola prinsip tidak mencari keuntungan.

Pasal 115
(1) Otonomi dalam bidang keuangan bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan Pemerintah mencakup kewenangan untuk menerima, menyimpan dan menggunakan dana yang berasal secara langsung dari masyarakat.
(2) Perguruan tinggi menyelenggarakan pembukuan terpadu berdasarkan peraturan tata-buku yang berlaku.
(3) Pembukuan keuangan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Kewenangan penerimaan, penyimpanan dan penggunaan dana serta pembukuan keuangan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat ditentukan oleh badan penyelenggara perguruan tinggi berdasarkan statuta perguruan tinggi dimaksud.

Pasal 116
(1) Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, setelah disetujui oleh senat perguruan tinggi diusulkan oleh Rektor/Ketua/Direktur melalui Menteri, Menteri lain, atau pimpinan lembaga Pemerintah lain kepada Menteri Keuangan untuk disahkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja perguruan tinggi.
(2) Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat setelah disetujui oleh senat perguruan tinggi diusulkan oleh Rektor/Ketua/Direktur kepada badan penyelenggara perguruan tinggi yang diseleng-garakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk disahkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja perguruan tinggi.

Pasal 117
(1) Pimpinan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah menyusun usulan struktur tarip dan tata cara pengelolaan dan pengalokasian dana yang berasal dari masyarakat, setelah disetujui oleh senat perguruan tinggi usulan ini diajukan oleh Rektor/Ketua/Direkur melalui Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain kepada Menteri Keuangan untuk disahkan.
(2) Pimpinan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat menyusun usulan struktur tarip dan tata cara pengelolaan dan pengalokasian dana yang berasal dari masyarakat, setelah disetujui oleh senat perguruan tinggi usulan ini diajukan Rektor/Ketua/Direktur kepada badan penyelenggara perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk disahkan.

BAB XIII
SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN

Pasal 118
(1) Pendirian, perubahan dan penambahan unsur pelaksana akademik perguruan tinggi didasarkan atas usulan yang meliputi :
a. rencana induk pengembangan;
b. kurikulum;
c. tenaga kependidikan;
d. calon mahasiswa;
e. sumber pembiayaan;
f. sarana dan prasarana;
g. penyelenggara perguruan tinggi.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 119
(1) Pendirian perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat selain memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini harus pula memenuhi persyaratan bahwa penyelenggaranya berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial.
(2) Pendirian perguruan tinggi kedinasan selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, harus pula memenuhi persyaratan :
a. melaksanakan pendidikan tenaga yang dibutuhkan departemen lain atau lembaga Pemerintah lain yang tidak dapat dipenuhi oleh satuan pendidikan tinggi di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan baik dalam jumlah maupun kualifikasi;
b. memiliki ketentuan baku dalam penyelenggaraannya yang meliputi kurikulum dan penerimaan mahasiswa yang dikaitkan dengan penempatan lulusannya pada departemen lain atau lembaga pemerintah lain yang bersangkutan;
c. mendapat persetujuan dari Menteri.

Pasal 120
Persyaratan pendirian perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh diatur oleh Menteri.

Pasal 121
Tata cara pendirian perguruan tinggi diatur oleh Menteri.

Pasal 122
(1) Pendirian universitas, institut, dan sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul yang diajukan oleh Menteri.
(2) Pendirian akademi dan politeknik yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan oleh Menteri, Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah lain setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan.

Pasal 123

(1) Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri.
(2) Ketentuan-ketentuan mengenai Badan Hukum sebagaimana disebut pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 124
Pendirian dan perubahan bentuk perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat ditetapkan oleh pimpinan badan penyelenggara perguruan tinggi setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri, atau Menteri lain setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.

Pasal 125
Perguruan tinggi dan/atau lembaga lain di luar negeri dapat mendirikan perguruan tinggi baru di Indonesia melalui patungan dengan mitra kerja Indonesia, dengan mengikuti sistem pendidikan serta syarat dan tata cara pendirian yang berlaku bagi pendidikan tinggi Indonesia.

Pasal 126
Perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat dan tata cara pendirian perguruan tinggi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak dibenarkan memberikan gelar akademik dan/atau sebutan profesional.

Pasal 127
Menteri dapat menutup perguruan tinggi yang :
1. tidak memenuhi syarat dan tata cara pendirian perguruan tinggi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini;
2. memberikan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
3. mengadakan kerjasama dengan perguruan tinggi asing yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB XIV
PENGAWASAN DAN AKREDITASI

Pasal 128
(1) Menteri menetapkan Tata cara pengawasan mutu dan efesiensi semua perguruan tinggi.
(2) Mutu sebagaimana dimaksud pada ayat(1) merupakan keterkaitan antara tujuan, masukan, proses, dan keluaran, yang merupakan tanggungjawab institusional perguruan tinggi masing-masing.
(3) Penilaian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan akreditasi yang mandiri.
(4) Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi berdasarkan hasil pengawasan mutu dan efesiensi.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh Menteri.

BAB XV
KERJASAMA ANTAR PERGURUAN TINGGI

Pasal 129
(1) Dalam pelaksanaan kegiatan akademik, perguruan tinggi dapat menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga-lembaga lain baik di dalam maupun di luar negeri.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk :
a. kontrak manajemen;
b. program kembaran;
c. program pemindahan kredit;
d. tukar menukar dosen dan mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan akademik;
e. pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik;
f. penerbitan bersama karya ilmiah;
g. penyelenggaraan bersama seminar atau kegiatan ilmiah lain; dan
h. bentuk-bentuk lain yang dianggap perlu.
(3) Kerjasama dalam bentuk kontrak manajemen, program kembaran, dan program pemindahan kredit dengan perguruan tinggi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilaksanakan sepanjang program studi dari perguruan tinggi luar negeri telah terakreditasi di negaranya.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus berkenaan dengan kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga lain di luar negeri diatur oleh Menteri.

Pasal 130
Dalam rangka pembinaan pendidikan tinggi perguruan tinggi dapat memberi bantuan kepada perguruan tinggi lain.

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 131

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan mengenai pendidikan tinggi yang telah ada pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 132
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3414) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3765), dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 133
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juni 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juni 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 115

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang - undangan II
Plt
Edy Sudibyo



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 61 TAHUN 1999
TENTANG
PENETAPAN PERGURUAN TINGGI NEGERI SEBAGAI BADAN HUKUM


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa proses globalisasi telah menimbulkan persaingan yang semakin tajam sehingga perlu mengambil berbagai langkah untuk meningkatkan daya saing nasional;
b. bahwa peningkatan daya saing nasional membutuhkan Perguruan Tinggi Negeri sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis, dan mampu bersaing secara global;
c. bahwa untuk dapat berperan sebagai kekuatan moral yang memiliki kredibilitas untuk mendukung pembangunan nasional Perguruan Tinggi Negeri harus memiliki kemandirian;
d. bahwa sebagian Perguruan Tinggi Negeri telah memiliki kemampuan pengelolaan yang mencukupi untuk dapat memperoleh kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab yang lebih besar;
e. bahwa sehubungan dengan itu perlu dibuka kemungkinan untuk secara selektif mengubah status hukum Perguruan Tinggi Negeri menjadi
Badan Hukum;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847:23) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah;
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 115,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3859);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENETAPAN PERGURUAN TINGGI NEGERI SEBAGAI BADAN HUKUM.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Perguruan Tinggi Negeri adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen yang bertanggung jawab atas pendidikan tinggi.
2. Perguruan Tinggi adalah Perguruan Tinggi Negeri yang berbentuk Badan Hukum.
3. Menteri Keuangan adalah Menteri yang bertanggung jawab untuk mewakili Pemerintah dalam setiap pemisahan kekayaan negara untuk ditempatkan sebagai kekayaan awal pada Perguruan Tinggi.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas pendidikan tinggi.

BAB II
SIFAT DAN TUJUAN

Pasal 2

Perguruan Tinggi merupakan badan hukum milik Negara yang bersifat nirlaba.

Pasal 3

Tujuan Perguruan Tinggi adalah :
a. menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;
b. mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional;
c. mendukung pembangunan masyarakat madani yang demokratis dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri;
d. mencapai keunggulan kompetitif melalui penerapan prinsip pengelolaan sumber daya sesuai dengan asas pengelolaan yang profesional.

BAB III
PENETAPAN PERGURUAN TINGGI

Pasal 4

(1) Perguruan Tinggi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah melalui suatu proses pengkajian yang mendalam atas usulan dan rencana pengembangan yang diajukan oleh Perguruan Tinggi Negeri.
(2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. penetapan Perguruan Tinggi sebagai badan hukum;
b. Anggaran Dasar Perguruan Tinggi;
c. penunjukkan Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah untuk mengawasi pemisahan kekayaan negara untuk ditempatkan sebagai kekayaan awal pada Perguruan Tinggi;
d. penunjukkan Menteri untuk melaksanakan pembinaan Perguruan Tinggi secara umum.
(3) Prasyarat untuk dapat ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kemampuan:
a. menyelenggarakan pendidikan tinggi yang efisien dan berkualitas;
b. memenuhi standar minimum kelayakan finansial;
c. melaksanakan pengelolaan Perguruan Tinggi berdasarkan prinsip ekonomis dan akuntabilitas.
(4) Tatacara dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Perguruan Tinggi Negeri untuk menjadi Perguruan Tinggi seba-gaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

BAB IV
KEKAYAAN

Pasal 5

(1) Kekayaan awal Perguruan Tinggi berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja.
(2) Besarnya kekayaan awal Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah seluruh kekayaan negara yang tertanam pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan, kecuali tanah, yang nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan bersama oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Keuangan.
(3) Penatausahaan pemisahan kekayaan Negara untuk ditempatkan sebagai kekayaan awal Perguruan Tinggi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Menteri Keuangan.
(4) Kekayaan Negara berupa tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
(5) Hasil pemanfaatan kekayaan berupa tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi pendapatan dari Perguruan Tinggi dan dipergunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Perguruan Tinggi.

BAB V
ANGGARAN DASAR

Pasal 6

(1) Anggaran Dasar Perguruan Tinggi sekurang-kurangnya memuat hal-hal berikut:
a. nama dan tempat kedudukan Perguruan Tinggi;
b. maksud dan tujuan serta lingkup kegiatan Perguruan Tinggi;
c. jangka waktu berdirinya Perguruan Tinggi;
d. susunan dan tatacara pemilihan Majelis Wali Amanat, Dewan Audit, Senat Akademik, dan Pimpinan Perguruan Tinggi;
e. tatacara pengelolaan, penguasaan, dan pengawasan;
f. tatacara penyelenggaraan berbagai rapat Pimpinan Perguruan Tinggi, Senat Akademik, Majelis Wali Amanat, Dewan Audit, dan rapat-rapat dengan Menteri.
(2) Perubahan pada ketentuan-ketentuan Anggaran Dasar sebagaimana disebut pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
ORGANISASI

Pasal 7
(1) Perguruan Tinggi terdiri dari unsur-unsur Majelis Wali Amanat, Dewan Audit, Senat Akademik, Pimpinan, Dosen, tenaga administrasi, pustakawan, teknisi, unsur pelaksana akademik, unsur pelaksana administrasi, dan unsur penunjang.
(2) Unsur pelaksana akademik terdiri dari Fakultas, Jurusan, Lembaga-lembaga, Pusat-pusat, dan bentuk lain yang dianggap perlu.
(3) Unsur pelaksana administrasi terdiri dari Biro-biro, Bagian-bagian, dan bentuk lain yag dianggap perlu.
(4) Unsur penunjang terdiri dari perpustakaan, laboratorium, bengkel, pusat komputer, kebun percobaan, dan bentuk lain yang dianggap perlu.
(5) Organisasi dan kelembagaan yang dibutuhkan pada suatu Perguruan Tinggi ditetapkan dalam Anggaran Dasar masing-masing.

BAB VII
MAJELIS WALI AMANAT

Pasal 8
(1) Majelis Wali Amanat adalah organ Perguruan Tinggi yang berfungsi untuk mewakili Pemerintah dan masyarakat
(2) Majelis Wali Amanat mewakili unsur-unsur :
a. Menteri;
b. Senat Akademik;
c. Masyarakat; dan
d. Rektor
(3) Anggota Majelis Wali Amanat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri setelah menerima usulan dari Senat Akademik.
(4) Anggota Majelis Wali Amanat yang mewakili unsur Senat Akademik di usulkan oleh Senat Akademik.
(5) Majelis Wali Amanat diketuai oleh salah seorang anggota yang dipilih oleh anggota lainnya.
(6) Rektor merupakan anggota Majelis Wali Amanat yang tidak dapat dipilih sebagai Ketua, dan dalam hal terjadi pemungutan suara tidak memiliki hak suara.
(7) Anggota Majelis Wali Amanat diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun, dan dapat diangkat kembali.
(8) Pembatasan pengangkatan kembali anggota Majelis Wali Amanat ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

Pasal 9

Majelis Wali Amanat bertugas untuk :
a. menetapkan kebijakan umum Perguruan Tinggi dalam bidang non akademik;
b. mengangkat dan memberhentikan Pimpinan;
c. mengesahkan Rencana Strategis serta Rencana Kerja dan Anggaran tahunan;
d. melaksanakan pengawasan dan pengendalian umum atas pengelolaan Perguruan Tinggi;
e. melakukan penilaian atas kinerja Pimpinan;
f. bersama Pimpinan menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri;
g. memberikan masukan dan pendapat kepada Menteri tentang pengelolaan Perguruan Tinggi.

BAB VIII
DEWAN AUDIT

Pasal 10
(1) Dewan Audit adalah organ Perguruan Tinggi yang secara independen melaksanakan evaluasi hasil audit internal dan eksternal atas penyelenggaraan Perguruan Tinggi untuk dan atas nama Majelis Wali Amanat.
(2) Jumlah anggota, susunan, masa bakti, dan tatacara penyelenggaraan rapat Dewan Audit ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
(3) Anggota Dewan Audit diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Wali Amanat.

Pasal 11
Dewan Audit bertugas untuk :
a. menetapkan kebijakan audit internal;
b. mempelajari dan menilai hasil audit;
c. mengambil kesimpulan dan mengajukan saran kepada Majelis Wali Amanat.

BAB IX
SENAT AKADEMIK

Pasal 12
(1) Senat Akademik adalah badan normatif tertinggi di Perguruan Tinggi di bidang akademik.
(2) Senat Akademik terdiri dari :
a. Pimpinan;
b. Dekan Fakultas;
c. Guru Besar yang dipilih melalui pemilihan;
d. Wakil dosen bukan Guru Besar yang diplih melalui pemilihan;
e. Kepala Perpustakaan Perguruan Tinggi; dan
f. unsur lain yang ditetapkan oleh Senat Akademik bersangkutan.
(3) Keanggotan pada Senat Akademik harus mempertimbangkan proporsi jumlah suara dalam hal diadakan pemungutan suara.
(4) Senat Akademik diketuai oleh salah seorang anggota, yang dipilih oleh anggota lain untuk masa jabatan 2(dua) tahun dan dapat dipilih kembali, dengan ketentuan tidak lebih dari 2 (dua) kali berturut-turut.
(5) Susunan, masa bakti, dan tatacara pemilihan anggota Senat Akademik serta tatacara penyelenggaraan rapat Senat Akademik ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

Pasal 13

Senat Akademik bertugas untuk :
a. memberikan masukan kepada Menteri tentang penilaian atas kinerja Majelis Wali Amanat;
b. menyusun kebijakan akademik Perguruan Tinggi;
c. menyusun kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian sivitas akademika;
d. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan pendidikan tinggi;
e. memberi masukan kepada Majelis Wali Amanat berdasarkan penilaiannya atas kinerja Pimpinan dalam masalah akademik;
f. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan;
g. memberi masukan kepada Pimpinan dalam penyusunan Rencana Strategis serta Rencana Kerja dan Anggaran;
h. melakukan pengawasan mutu akademik dalam penyelenggaran Perguruan Tinggi;
i. merumuskan tata tertib kehidupan kampus.

BAB X
PIMPINAN

Pasal 14

(1) Pimpinan Perguruan Tinggi terdiri dari Rektor yang dibantu oleh beberapa orang Pembantu Rektor.
(2) Anggota Pimpinan harus memenuhi persayaratan untuk mampu melaksanakan perbuatan hukum.
(3) Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Wali Amanat, melalui pemungutan suara di mana unsur Menteri memiliki 35% dari seluruh suara yang sah.
(4) Calon Rektor diajukan oleh Senat Akademik kepada Majelis Wali Amanat melalui suatu proses pemilihan.
(5) Anggota Pimpinan lainnya diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Wali Amanat atas usul Rektor.
(6) Tatacara pemilihan Rektor oleh Senat Akademik ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
(7) Anggota Pimpinan diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.
(8) Pembatasan pengangkatan kembali anggota Pimpinan ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

Pasal 15

(1) Pimpinan bertugas untuk :
a. melaksanakan penyelengaraan pendidikan,penelitian, pengabdian kepada masyarakat;
b. mengelola seluruh kekayaan Perguruan Tinggi dan secara optimal memanfaatkannya untuk kepentingan Perguruan Tinggi;
c. membina tenaga kependidikan, mahasiswa, dan tenaga administrasi;
d. membina hubungan dengan lingkungan Perguruan Tinggi dan masyarakat pada umumnya;
e. menyelenggarakan pembukuan Perguruan Tinggi;
f. menyusun Rencana Strategis yang memuat sasaran dan tujuan Perguruan Tinggi yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;
g. menyusun Rencana Kerja dan Anggaran tahunan Perguruan Tinggi;
h. melaporkan secara berkala kepada Majelis Wali Amanat tentang kemajuan Perguruan Tinggi;
i. bersama Majelis Wali Amanat menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri.
(2) Pimpinan mewakili Perguruan Tinggi di dalam dan di luar pengadilan untuk kepentingan dan tujuan Perguruan Tinggi.
(3) Anggota Pimpinan tidak berhak mewakili Perguruan Tinggi apabila :
a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Perguruan Tinggi dengan anggota Pimpinan bersangkutan;
b. anggota Pimpinan yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Perguruan Tinggi.
(4) Setiap anggota Pimpinan berhak mewakili Perguruan Tinggi kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar.

Pasal 16

Pimpinan dilarang memangku jabatan rangkap sebagaimana tersebut di bawah ini:
a. Pimpinan dan jabatan strukural lainnya pada lembaga pendidikan tinggi lain;
b. Jabatan struktural dan fungsional lainnya dalam instansi/lembaga pemerintah pusat dan daerah;
c. Jabatan lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan kepentingan Perguruan Tinggi.

BAB XI
PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN

Bagian Pertama Perencanaan

Pasal 17

(1) Rencana Strategis adalah strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan, serta program-program yang berjangka waktu 5 (lima) tahunan untuk melaksanakan strategi tersebut.
(2) Rencana Strategis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup :
a. evaluasi pelaksanaan Rencana Strategis sebelumnya;
b. evaluasi kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman yang ada saat itu;
c. asumsi-asumsi yang dipakai dalam menyusun Rencana Strategis;
d. penetapan sasaran, strategi, kebijakan dan program kerja, serta indikator kinerja.
(3) Rencana Strategis disusun oleh Pimpinan setelah memperoleh masukan dari Senat Akademik, dan diajukan kepada Majelis Wali Amanat untuk dibahas dan kemudian disahkan.

Pasal 18
(1) Rencana Kerja dan Anggaran adalah penjabaran Rencana Strategis dalam rencana kerja tahunan dan anggaran pengeluaran dan pendapatan tahunan.
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Perguruan Tinggi diajukan kepada Majelis Wali Amanat selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran dimulai.
(3) Rencana Kerja dan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disahkan oleh Majelis Wali Amanat selambat-lam-batnya 30 (tiga puluh) hari setelah tahun anggaran berjalan.
(4) Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Perguruan Tinggi belum disahkan Majelis Wali Amanat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Rencana Kerja dan Anggaran Perguruan Tinggi tahun sebelumnya dapat dilaksanakan sambil menunggu pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Perguruan Tinggi yang diusulkan.

Bagian Kedua Pengelolaan

Pasal 19
(1) Tahun anggaran Perguruan Tinggi berlaku mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember yang berikut.
(2) Tatacara pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi diatur oleh dan disesuaikan dengan kebutuhan Perguruan Tinggi dengan memperhatikan efisiensi, otonomi, dan akuntabilitas.

BAB XII
AKUNTABILITAS

Pasal 20
(1) Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku ditutup, Pimpinan bersama Majelis Wali Amanat wajib menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri, yang sekurang-kurangnya memuat :
a. Laporan Keuangan yang meliputi neraca, perhitungan penerimaan dan biaya, laporan arus kas, dan laporan perubahan aktiva bersih;
b. Laporan Akademik yang meliputi keadaan, kinerja, serta hasil-hasil yang telah dicapai Perguruan Tinggi.
(2) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh pengawas fungsional.
(3) Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Akademik Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapat pengesahan dari Menteri, menjadi informasi publik.

Pasal 21
(1) Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Akademik Tahunan ditandatangani oleh semua anggota Pimpinan Perguruan Tinggi, dan disampaikan kepada Majelis Wali Amanat.
(2) Dalam hal terdapat anggota Pimpinan yang tidak menandatangani Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Akademik Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disebutkan alasannya secara tertulis.

Pasal 22

Laporan Keuangan Tahunan disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.

BAB XIII
PENGAWASAN

Pasal 23

(1) Pengawasan atas penyelenggaraan Perguruan Tinggi dilakukan oleh Menteri, yang mendelegasikan wewenang ini kepada Majelis Wali Amanat.
(2) Pemeriksaan internal atas pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi dilakukan oleh tenaga audit internal Perguruan Tinggi.

BAB XIV
KETENAGAKERJAAN

Pasal 24

(1) Dosen di Perguruan Tinggi merupakan pegawai Perguruan Tinggi, yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak, serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tenaga dosen di Perguruan Tinggi.
(2) Tenaga administrasi, pustakawan, dan teknisi di Perguruan Tinggi merupakan pegawai Perguruan Tinggi, yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak, serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai ketenaga-kerjaan.
(3) Dosen, tenaga administrasi, pustakawan, dan teknisi di Perguruan Tinggi yang pada saat pendirian Perguruan Tinggi berstatus Pegawai Negeri Sipil secara bertahap dialihkan statusnya menjadi pegawai Perguruan Tinggi.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25
(1) Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juni 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juni 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 116
Salinan Sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang - undangan II
Plt

Edy Sudibyo















KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 93 TAHUN1999
TENTANG
PERUBAHAN INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP)
MENJADI UNIVERSITAS

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan mutu, relevansi, efisiensi, pemerataan, dan akuntabilitas pendidikan tinggi secara nasional perlu ditingkatkan kenerja perguruan tinggi khususnya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP);
b. bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a, dipandang perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Perubahan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP);

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (!) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaga Negara Tahun 1989 Nomor 6. Tambahan Lembaga Negara Nomor 3390);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3859);
4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) MENJADI UNIVERSITAS.

Pasal 1
(1) Mengubah status beberapa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi Universitas.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. IKIP Yogyakarta menjadi Universitas Negeri Yogyakarta;
b. IKIP Surabaya menjadi Universitas Negeri Surabaya;
c. IKIP Malang menjadi Universitas Negeri Malang;
d. IKIP Ujung Pandang menjadi Universitas Negeri Makasar;
e. IKIP Jakarta menjadi Universitas Negeri Jakarta;
f. IKIP Padang menjadi Universitas Negeri Padang;
(3) Universitas sebagimana dimaksud pada ayat (2) merupakan perguruan tinggi dilingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pasal 2

Universitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) mempunyai tugas :
a. Menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau pendidikan profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu;
b. Mengembangkan ilmu pendidikan, ilmu keguruan, serta mendidik tenaga akademik dan profesional dalam bidang kependidikan.

Pasal 3

Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, semua ketentuan mengenai IKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang bertentangan dengan Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini diatur oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,

Plt

Edy Sudibyo




SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 184/U/2001

TENTANG
PEDOMAN PENGAWASAN - PENGENDALIAN DAN PEMBINAAN PROGRAM
DIPLOMA, SARJANA DAN PASCASARJANA Dl PERGURUAN TINGGI

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : a. bahwa perkembangan pendidikan tinggi menuntut adanya otonomi yang lebih luas sehingga proses pendidikan dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien;
b. bahwa pengelolaan perguruan tinggi dituntut memenuhi akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu menetapkan Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3859);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 mengenai pembentukan Kabinet Gotong Royong;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
6. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 010/O/2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pendidikan Nasional;
7. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa;
8. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG
PEDOMAN PENGAWASAN - PENGENDALIAN DAN PEMBINAAN PROGRAM DIPLOMA, SARJANA, DAN PASCASARJANA DI PERGURUAN TINGGI.

Pasal 1

(1) Dalam rangka penjaminan akuntabilitas pengelolaan perguruan tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melaksanakan kegiatan pengawasan pengendalian dan pembinaan terhadap perguruan tinggi yang meliputi:
a. Rencana Induk Pengembangan (RIP);
b. Rencana strategi (Renstra);
c. Kurikulum;
d. Tenaga Kependidikan;
e. Calon Mahasiswa;
f. Sarana dan prasarana yang meliputi:
1. ruang kuliah;
2. ruang dosen;
3. ruang seminar;
4. laboratorium;
5. perpustakaan;
6. fasilitas komputasi;
7. fasilitas teknologi informasi;
8. perlengkapan pendukung pembelajaran;
9. perlengkapan pendukung kegiatan kemahasiswaan
10. peralatan laboratorium;
11. buku-buku/dokumen yang mendukung;
g. Penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi;
1. kuliah;
2. praktikum;
3. kegiatan terencana;
4. pembimbingan;
5. penilaian hasil belajar;
h. Penyelenggaraan penelitian,
i. Penyelenggaraan pengabdian kepada masyarakat;
j. Kerjasama, meliputi:
1. tukar menukar sumberdaya;
2. kemahasiswaan;
3. penelitian;
4. pengembangan,
k. Administrasi dan pendanaan program, meliputi:
1. ketertiban administrasi;
2. pendanaan;
l. Pelaporan kegiatan proses belajar mengajar.
(2) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada perguruan tinggi swasta dapat dibantu oleh Kantor Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (KOPERTIS).

Pasal 2

(1) Untuk keperluan pengawasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (1), setiap perguruan tinggi wajib mendokumentasikan kegiatan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(2) Kegiatan pembelajaran meliputi:
a. jumlah mahasiswa;
b. jumlah dosen tetap dan tidak tetap yang aktif mengajar;
c. jadwal perkuliahan dan praktikum;
d. Garis-garis besar program pengajaran (GBPP);
e. Satuan Administrasi Pelajaran (SAP);
f. kehadiran dosen;
g. kehadiran mahasiswa dalam kuliah;
h. praktikum dan ujian;
i. nilai ujian:
j. salinan/fotocopy ijazah;
k. dan transkrip akademik yang dihasilkan untuk keperluan penilaian.

(3) Kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh dosen dan mahasiswa di Lembaga/Perguruan Tinggi yang bersangkutan berupa karya-karya ilmiah, makalah, hasil seminar dan sejenisnya.
(4) Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang terencana dan terstruktur, meliputi kegiatan penyuluhan, pelatihan, konsultasi dan sejenisnya.

Pasal 3

Kegiatan pengawasan - pengendalian dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada Pasal I dilaksanakan baik dengan pemberitahuan maupun tanpa pemberitahuan kepada perguruan tinggi yang bersangkutan.

Pasal 4

Berdasarkan hasil pengawasan-pengendalian dan pembinaan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi berwenang memberikan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 dengan sanksi administratif terberat berupa penutupan perguruan tinggi.

Pasal 5

Setiap perguruan tinggi wajib melaporkan kegiatan proses belajar mengajar setiap akhir semester kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kopertis.

Pasal 6

Dengan berlakunya keputusan ini, Keputusan dan segala ketentuan yang bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku :

a. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 020/U/1986 tentang Ujian Negara Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta;
b. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0198/U/1987 tentang Penyelenggaraan Ujian Sendiri Bagi Perguruan Tinggi Tinggi Swasta Berstatus Disamakan;
c. Keputusan Menterl Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 023/U/1993 tentang Pembinaan Fakultas Kedokteran di Perguruan Tinggi Yang Diselenggarakan Masyarakat;
d. Diktum Pertama angka 5, 6, dan 7, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 324/U/1997 tentang Pemberian Wewenang Kepada Pejabat Tertentu di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Untuk Mengesahkan Salinan Atau Fotocopy Ijazah/Surat tanda Tamat Belajar dan Surat Keterangan Pengganti Atau Dokumen Lainnya yang Berpenghargaan Sama Dengan Ijazah/Surat Tanda Tamat Belajar;
e. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 295/U/1998 tentang Tidak Berlakunya Beberapa Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bagi Perguruan Tinggi Yang Telah Diakreditasi;
f. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 19/DIKTI/Kep/1986; tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 020/U/1986 tentang Ujian Negara bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta;
g. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 357/D/0/1989 tentang Memberlakukan ljazah Bagi Lulusan Perguruan Tinggi Swasta Terdaftar, Diakul, Disamakan;
h. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 75/DIKTI/Kep/1993, tentang Ujian Negara bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran di Lingkungan Perguruan Tinggi Swasta;
i. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 421/DIKTI/Kep/I996; tentang Persyaratan dan Tata cara Ujian Negara bagi Mahasiswa Program Sarjana dan Diploma Perguruan Tinggi Swasta;
j. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 304/DIKTI/Kep/1998; tentang Tindak Lanjut Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 188/U/1998 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi untuk Program Sarjana;
k. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 314/DIKTI/Kep/1998; tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan terhadap program studi yang tidak Terakreditasi untuk program Sarjana di Perguruan Tinggi;
l. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 347/DIKTI/Kep/I998; tentang Persyaratan dan Tata cara Ujian Pengawasan Mutu bagi Mahasiswa Program Pasca Sarjana Program Magister Perguruan Tinggi Swasta,
m. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 374/DIKTI/Kep/1998; tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Pengawasan Program Studi yang Terakreditasi untuk Program Sarjana di Perguruan Tinggi.

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 23 November 2001

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD,

A. MALIK FADJAR


SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 178/U/2001

TENTANG

GELAR DAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Bab VII Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, dipandang perlu mengatur penetapan jenis gelar dan sebutan sesuai dengan kelompok bidang ilmu;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi ( Lembaran Negara Nomor 3859);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 mengenai Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan Tugas, Fungsi, Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG GELAR DAN SEBUTAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Gelar akademik adalah gelar yang diberikan kepada lulusan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik.
2. Sebutan profesional adalah sebutan yang diberikan kepada lulusan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional.
3. Pendidikan akademik adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasan ilmu pengetahuan dan pengetahuan.
4. Pendidikan dan profesional adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada persiapan penerapan keahlian tertentu.
5. Program studi adalah merupakan pedoman penyelenggaraan pendidikan akademik dan/atau profesioal yang diselenggarakan atas dasar kurikulum yang disusun oleh perguruan tinggi.
6. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.
7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Pasal 2
(1) Penetapan jenis gelar akademik dan sebutan profesional didasarkan atas bidang keahlian.
(2) Bidang keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk gelar akademik merupakan program studi.
(3) Bidang keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk sebutan profesional merupakan program studi.

Pasal 3
(1) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan kepada lulusan perguruan tinggi dicantumkan dalam ijazah.
(2) Dalam ijazah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan pula nama program studi yang bersangkutan secara lengkap.


BAB II
GELAR AKADEMIK DAN SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 4
(1) Yang berhak menggunakan gelar akademik adalah lulusan pendidikan akademik dari Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas.
(2) Yang berhak menggunakan sebutan profesional adalah lulusan pendidikan profesional dari Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas.

Pasal 5
(1) Yang berhak memberikan gelar akademik adalah Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Yang berhak memberikan sebutan profesional adalah Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas.


BAB III
JENIS GELAR AKADEMIK

Pasal 6
Gelar akademik terdiri atas Sarjana, Magister dan Doktor

Pasal 7
Penggunaan gelar akademik Sarjana dan Magister ditempatkan di belakang nama yang berhak atas gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf S., untuk Sarjana dan huruf M. untuk Magister disertai singkatan nama kelompok bidang keahlian.

Pasal 8
Penetapan jenis gelar dan sebutan serta singkatannya sesuai dengan kelompok bidang ilmu dilakukan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bersamaan dengan pemberian ijin pembukaan program studi berdasarkan usul dari perguruan tinggi yang bersangkutan sesuai dengna norma dan kepatutan akademik.

Pasal 9
Gelar akademik Doktor disingkat Dr. ditempatkan di depan nama yang berhak atas gelar yang bersangkutan.

BAB IV
JENIS SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 10
Penggunaan sebutan profesional dalam bentuk singkatan ditempatkan di belakang nama yang berhak atas sebutan profesional yang bersangkutan.

Pasal 11
(1) Sebutan profesional lulusan Program Diploma terdiri atas :
a. Ahli Pratama untuk Program Diploma I disingkat A.P.
b. Ahli Muda untuk Program Diploma II disingkat A.Ma.
c. Ahli Madya untuk Program Diploma III disingkat A.Md.
d. Sarjana Sains Terapan untuk Program Diploma IV disingkat SST
(2) Singkatan sebutan profesional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan di belakang nama yang berhak atas sebutan tersebut.


BAB V
PENGGUNAAN GELAR AKADEMIK
DAN SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 12
(1) Gelar akademik dan sebutan profesional yang digunakan oleh yang berhak menerima adalah satu gelar akademik dan/atau sebutan profesional jenjang tertinggi yang dimiliki oleh yang berhak.
(2) Gelar akademik dan sebutan profesional hanya digunakan atau dicantumkan pada dokumen resmi yang berkaitan dengan kegiatan akademik dan pekerjaan.

BAB VI
SYARAT PEMBERIAN GELAR AKADEMIK
DAN SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 13
Syarat pemberian gelar akademik dan sebutan profesional adalah :
1. Telah menyelesaikan semua kewajiban dan/atau tugas yang dibebankan dalam mengikuti suatu program studi baik untuk pendidikan akademik maupun pendidikan profesional sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Telah menyelesaikan kewajiban administrasi dan keuangan berkenaan dengan program studi yang diikuti sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Telah dinyatakan lulus dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional.


BAB VII
GELAR DOKTOR KEHORMATAN


Pasal 14
Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dapat diberikan kepada seseorang yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan.


Pasal 15
(1) Syarat bagi calon penerima gelar Doktor kehormatan adalah :
1. memiliki gelar akademik sekurang-kurangnya Sarjana.
2. berjasa luar biasa dalam pengembangan suatu disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan.
(2) Syarat perguruan tinggi yang dapat memberikan gelar Doktor Kehormatan adalah universitas dan institut yang memiliki wewenang menyelenggarakan Program Pendidikan Doktor sesuai ketentuan yang berlaku.


Pasal 16
(1) Pemberian gelar Doktor Kehormatan dapat diusulkan oleh senat fakultas dan dikukuhkan oleh senat universitas/institut yang dimiliki wewenang.
(2) Pemberian gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tatacara yang berlaku di universitas/institut yang bersangkutan.
(3) Pemberian gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan oleh Rektor kepada Menteri dengan disertai pertimbangan lengkap atas karya atau jasa yang bersangkutan.


Pasal 17
Gelar Doktor kehormatan, disingkat Dr (H.C) ditempatkan di depan nama penerima hak atas gelar tersebut dan hanya digunakan atau dicantumkan pada dokumen resmi yang berkaitan dengan kegiatan akademik dan pekerjaan.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN

Pasal 18
Perguruan tinggi yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dibenarkan memberikan gelar akademik, sebutan profesional dan/atau gelar doktor kehormatan.


Pasal 19
(1) Gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diperoleh secara sah tidak dapat dicabut atau ditiadakan oleh siapapun.
(2) Keabsahan perolehan gelar akademik dan/atau sebutan profesional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali karena alasan akademik.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh Direktur Jenderal.


Pasal 20

Penggunaan gelar akademik dan / atau sebutan profesional yang tidak sesuai dengan Keputusan ini dikarenakan ancaman dipidana seperti dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Pasal 21
(1) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi di luar negeri digunakan sesuai pola dan cara pemakaian yang berlaku di negara yang bersangkutan dan tidak dibenarkan untuk disesuaikan dan/atau diterjemahkan menjadi gelar akademik dan/atau sebutan profesional sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.
(2) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi di luar negeri perlu pengesahan dari Departemen Pendidikan Nasional.
(3) Gelar akademik dan sebutan profesional lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak dibenarkan untuk disesuaikan dan/atau diterjemahkan menjadi gelar akademik dan/atau diterjemahkan menjadi gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi di luar negeri;


Pasal 22

Sebutan profesional yang dapat diberikan oleh perguruan tinggi di lingkungan Departemen Pertahanan ditetapkan dalam ketentuan tersendiri.


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 23
(1) Gelar akademik dan sebutan profesional seperti diatur dalam keputusan ini berlaku sejak ditetapkan.
(2) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi di dalam negeri sebelum Keputusan ini berlaku dapat tetap dipakai sebagaimana adanya.

Pasal 24

Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 25

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2001

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD

A.MALIK FAJAR








Salinan

KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 107/U/2001


TENTANG

PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN TINGGI JARAK JAUH

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

Meninmbang : a. bahwa pendidikan akademik dan pendidikan profesional diselenggarakan dengan cara tatap muka dan/atau jarak jauh;
b. bahwa untuk penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh pada Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan sistem tatap muka, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3895);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2001;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi, dan Tugas Departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2001;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234/M Tahun 2000 tentang Pembentukan Kabinet periode 1999 - 2004;
6. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 2564/U/1991tentang Pendidikan Tinggi Jarak Jauh;
7. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN TINGGI JARAK JAUH.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Program pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ) adalah program pendidikan tinggi dengan proses pembelajaran yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi.
2. Materi ajar PTJJ adalah bahan ajar yang dikembangkan dan dikemas dalam bentuk tercetak dikombinasikan dengan media lain yang dapat digunakan mahasiswa untuk proses belajar mandiri.
3. Bantuan mandiri adalah proses belajar yang didasarkan pada inisiatif mahasiswa dengan bantuan minimal dari pihak lain.
4. Bantuan belajar adalah segala bentuk kegiatan pendukung yang dilaksanakan oleh pengelola PTJJ untuk membantu kelancaran proses belajar madiri mahasiswa, berupa pelayanan akademik dan administrasi akademik, maupun pribadi.
5. Turorial adalah bentuk bantuan belajar akademik yang secara langsung berkaitan dengan materi ajar, dan dapat dilaksanakan secara tatap muka maupun jarak jauh
6. Evaluasi hasil belajar mahasiswa adalah penilaian yang dilakukan terhadap hasil proses belajar mandiri mahasiswa dalam bentuk tatap muka dan jarak jauh.
7. Evaluasi hasil belajar secara tatap muka adalah bentuk evaluasi yang dilakukan dengan pengawasan langsung.
8. Evaluasi hasil belajar secara jarak jauh adalah evaluasi terhadap tugas yang dikerjakan oleh mahasiswa secara mandiri.
9. Praktik adalah latihan keterampilan penerapan teori dengan pengawasan langsung
10. Praktikum adalah tugas yang terkendali yang berhubungan dengan validasi fakta atau hubungan antar fakta, sesuai dengan yang disyaratkan dalam kurikulum.
11. Pemantapan pengalaman lapangan adalah tugas yang dilakukan dalam lingkungan kerja sesuai dengan yang disyaratkan dalam kurikulum serta dengan pengawasan langsung.
12. Unit sumber belajar adalah pelaksana penyelenggaraan program PTJJ yang berada di luar kantor pusat dan atau di daerah.
13. Sistem pendidikan tinggi tatap muka adalah pendidikan tinggi dengan proses pembelajaran yang dilakukan melalui pertemuan langsung antar staf pengajar dengan mahasiswa.
14. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.
15. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Pasal 2

Tujuan penyelenggaraan program pendidikan tinggi jarak jauh adalah terwujudnya tujuan pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang pendidikan tinggi, serta terciptanya kesempatan mengikuti pendidikan tinggi.

Pasal 3

Penyelenggaraan program PTJJ dilaksanakan dengan mengutamakan hal berikut :
a. Penggunaan berbagai media komunikasi yang berbentuk media komunikasi tercetak dikombinasikan dengan media lain;
b. Penggunaan metode pembelajaran interaktif yang didasarkan pada konsep belajar mandiri dengan dukungan bantuan belajar dan fasilitasi pembelajaran;

Pasal 4

(1) Program pendidikan tinggi jarak jauh diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Mempunyai sumber daya untuk merancang, menyusun, memproduksi, dan menyebar luaskan seluruh bahan ajar yang diperlukan untuk memenuhi kurikulum program
b. Mempunyai sumber daya untuk memutakhirkan secara berkala setiap bahan ajar yang diproduksi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. Memiliki sumber daya untuk menyelenggarakan interaksi antara dosen, asisten atau tutor dengan mahasiswa secara intensif, baik melalui tatap muka, telekonferensi, surat menyurat elektronik, maupun bentuk-bentuk interaksi jarak jauh yang sinkronus dan asinkronus lainnya, yang menjamin dosen akan dapat mengenal secara individual setiap mahasiswanya, sehingga mampu menjaga kualitas proses pembelajaran;
d. Mempunyai sumber daya untuk menyediakan fasilitas praktikum dan/ atau akses bagi mahasiswa untuk melaksanakan praktikum;
e. Mempunyai sumber daya untuk menyediakan fasilitas pemantapan pengalaman lapangan dan/atau akses bagi mahasiswa untuk melaksanakan pemantapan pengalaman lapangan;
f. Mempunyai sumber daya untuk melakukan evaluasi hasil belajar secara terprogram dan berkala minimal 2 (dua) kali per semester;
g. Mempunyai sumber daya dengan bidang keahlian manajemen PTJJ dan pembelajaran jarak jauh;
h. Mempunyai sumber daya untuk mengorganisasikan unit sumber belajar yang bertujuan memberikan layanan teknis dan akademis secara intensif kepada mahasiswa dan dosen dalam proses pembelajaran;

i. Sudah mempunyai ijin penyelengaraan program studi secara tatap muka dalam bidang studi yang sama yang telah diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN - PT) dengan nilai A atau U (Unggulan);
j. Bekerja sama dengan perguruan tinggi lain yang sudah mempunyai ijin penyelenggaraan program studi yang sama untuk memfasilitasi kegiatan pengembangan program dan bahan ajar, pemberian layanan bantuan belajar, layanan perpustakaan dan pelaksanaan praktikum dan pemantapan pengalaman lapangan, serta penyelenggaraan evaluasi hasil belajar secara jarak jauh.
(3) Perincian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal;
(4) Mekanisme dan proses evaluasi persyaratan serta persetujuan untuk penyelenggaraan program pendidikan tinggi jarak jauh ditetapkan oleh Direktur Jenderal;

Pasal 5

(1) Kurikulum program studi yang diselenggarakan dengan sistem PTJJ sama dengan kurikulum program studi yang diselenggarakan dengan sistem tatap muka.
(2) Beban studi untuk menyelesaikan setiap program studi yang diselenggarakan dengan sistem PTJJ minimal sama dengan beban studi pada sistem tatap muka.
(3) Proses pembelajaran jarak jauh dilakukan secara terstruktur termasuk layanan akademik yang diberikan tutor sehingga memotivasi mahasiswa untuk bekerja secara cepat dan disiplin.
(4) Evaluasi hasil akhir belajar harus dapat mencerminkan tingkat kematangan dan kemampuan mahasiswa melalui mekanisme ujian komprehensif secara tatap muka atau secara jarak jauh dengan pengawasan langsung.

Pasal 6

Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh diwajibkan membuat laporan pelaksanaan dan menyampaikan laporan kepada Menteri secara berkala setiap tahun.

Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 JULI 2001

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
ttd
YAHYA A. MUHAIMIN


SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada :

1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,
2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,
3. Semua Direktur Jenderal di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional,
4. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional,
5. Semua Sekretaris Direktorat Jenderal, Sekretaris Inspektorat Jenderal dan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional,
6. Semua Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional,
7. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
8. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara setempat,
9. Komisi VI DPR RI.


Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan,

ttd

Muslikh, S.H.
NIP. 131479478






















KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 234/U/2000
TENTANG
PEDOMAN PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 118 dan Pasal 121 Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, dipandang perlu menetapkan kembali Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3374);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3859);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PEDOMAN PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional;
2. Perguruan tinggi negeri selanjutnya disebut PTN adalah perguruan
tinggi yang diselenggarakan oleh Menteri.
3. Menteri lain adalah Menteri yang bertanggungjawab atas
penyelenggaraan perguruan tinggi di luar lingkungan Departemen
Pendidikan Nasional;
4. Perguruan tinggi swasta selanjutnya disebut PTS adalah perguruan
tinggi yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Perguruan
Tinggi Swasta.
5. Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya
disingkat BPPTS adalah badan hukum/yayasan yang bersifat nir laba
yang menyelenggarakan perguruan tinggi swasta (PTS).
6. Perguruan tinggi kedinasan selanjutnya disebut PTK adalah akademi,
politeknik atau sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Menteri
lain atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen (LPND) untuk
meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi
pegawai atau calon pegawai di lembaga yang bersangkutan.
7. Akademi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan program
pendidikan profesional dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu
pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.
8. Politeknik adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan program
pendidikan profesional dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
9. Sekolah Tinggi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan profesional dan akademik dalam lingkup satu disiplin
ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.
10. Institut adalah perguruan tinggi yang di samping menyelenggarakan
pendidikan akademik dapat pula menyelenggarakan pendidikan
profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian sejenis.
11. Universitas adalah perguruan tinggi yang di samping
menyelenggarakan pendidikan akademik dapat pula menyelenggarakan
pendidikan profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian tertentu.
12. Fakultas adalah satuan struktural pada universitas atau institut
yang mengkoordinasikan dan/atau melaksanakan pendidikan akademik
dan/atau profesional dalam satu atau seperangkat cabang ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
13. Program Diploma I selanjutnya disebut Program D I adalah jenjang
pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal 40
satuan kredit semester (sks) dan maksimal 50 sks dengan kurikulum
2 semester dan lama program antara 2 sampai 4 semester setelah
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
14. Program Diploma II selanjutnya disebut Program D II adalah jenjang
pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal 80
satuan kredit semester (sks) dan maksimal 90 sks dengan kurikulum
4 semester dan lama program antara 4 sampai 6 semester setelah
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
15. Program Diploma III selanjutnya disebut Program D III adalah
jenjang pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal
110 satuan kredit semester (sks) dan maksimal 120 sks dengan
kurikulum 6 semester dan lama program antara 6 sampai 10 semester
setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
16. Program Diploma IV selanjutnya disebut Program D IV adalah
jenjang pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal
144 satuan kredit semester (sks) dan maksimal 160 sks dengan
kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester
setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
17. Program Sarjana selanjutnya disebut Program S1 adalah jenjang
pendidikan akademik yang mempunyai beban studi antara minimal
144 satuan kredit semester(sks) dan maksimal 160 sks dengan
kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester
setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
18. Program Magister selanjutnya disebut Program S2 adalah jenjang
pendidikan akademik yang mempunyai beban studi antara minimal
36 satuan kredit semester(sks) dan maksimal 50 sks dengan
kurikulum 4 semester dan lama program antara 4 sampai 10 semester
setelah pendidikan Program S1 atau sederajat.
19. Program Doktor selanjutnya disebut Program S3 adalah jenjang
pendidikan akademik yang ditempuh setelah perididikan Program S1
atau sederajat, atau ditempuh setelah pendidikan Program S2 atau
sederajat, dengan beban studi dan prosedur yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri;
20. Program Studi adalah kesatuan rencana belajar sebagai pedoman
penyelenggaraan pendidikan akademik dan/atau profesional yang
diselenggarakan atas dasar suatu kurikulum serta ditujukan
agar mahasiswa dapat mengusai pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang sesuai dengan sasaran kurikulum.
21. Bagian adalah jurusan yang tidak mempunyai program studi.
22. Jurusan adalah unsur pelaksana akademik pada akademi, sekolah
tinggi atau fakultas dan sebagai wadah yang memfasilitasi
pelaksanaan program studi.
23. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Pasal 2

(1) Pendirian pcrguruan tinggi merupakan pembentukan akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas.
(2) Akademi terdiri atas satu program studi atau lebih yang
menyelenggarakan Program Diploma Satu (D I), Program Diploma Dua
(D II) dan/atau Program Diploma Tiga (D III).
(3) Politeknik terdiri atas tiga program studi atau lebih yang
menyelenggarakan Program Diploma Satu (D I), Program Diploma Dua
(D II), Program Diploma Tiga (D III) dan/atau Program Diploma
Empat (D IV).
(4) Sekolah tinggi terdiri atas satu program studi atau lebih yang
menyelenggarakan : program Diploma Satu (D I), Program Diploma
Dua (D II), Program Diploma Tiga (D III) dan/atau Program Diploma
Empat (D IV), dan yang memenuhi syarat dapat menyelenggarakan
Program S1, Program S2 dan/atau Program S3.
(5) Institut terdiri atas enam program studi atau lebih yang
menyelenggarakan Program S1 dan/atau Program Diploma dan mewakili
tiga kelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian yang berbeda dan yang memenuhi syarat dapat
menyelenggarakan Program S2, dan Program S3.
(6) Universitas terdiri atas sepuluh program studi atau lebih yang
menyelenggarakan Program S1 dan/atau Program Diploma dan mewakili
tiga kelompok bidang ilmu pengetahuan alam dan dua kelompok
bidang ilmu pengetahuan sosial atau lebih dan yang memenuhi syarat
dapat menyelenggarakan Program S2 dan Program S3.
(7) Jumlah program diploma yang diselenggarakan oleh institut dan
universitas, tidak melebihi setengah dan jumlah program sarjananya.

Pasal 3

Perubahan bentuk perguruan tinggi adalah :

a. Perubahan bentuk dari satu perguruan tinggi menjadi bentuk lain;
b. Penggabungan dari dua atau lebih bentuk perguruan tinggi;
c. Pemecahan dari satu bentuk perguruan tinggi menjadi bentuk
perguruan tinggi lain.


BAB II

PERSYARATAN

Pasal 4

Persyaratan pendirian/perubahan perguruan tinggi meliputi
a. rencana induk pengembangan (RIP);
b. kurikulum;
c. tenaga kependidikan;
d. calon mahasiswa;
e. statuta;
f. kode etik sivitas akademika;
g. sumber pernbiayaan;
h. sarana dan prasarana;
i. penyelenggara perguruan tinggi.

Pasal 5

(1) RIP merupakan pedoman dasar pengembangan untuk jangka waktu
sekurang-kurangnya lima tahun
(2) RIP memuat materi pokok :
a. Bidang akademik,:
1. Program kegiatan
Satuan kegiatan yang berdasarkan peraturan perundangan atau
peraturan perguruan tinggi memiliki kewenangan dan
tanggungjawab yang mandiri untuk merancang, menyelenggarakan
dan melaksanakan kegiatan fungsional pendidikan tinggi dan/
atau disiplin ilmu yang dituangkan dalam kegiatan proses
pembelajaran yang mengacu pada perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta keperluan pembangunan masyarakat;
2. Organisasi penyelenggaraan
Suatu badan hukum atau pemerintah dalam hal ini Depdiknas,
Departemen lain dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
berdasar perundangan yang berlaku dapat menyelenggarakan
perguruan tinggi;
3. Sumberdaya manusia
Tenaga pendidik atau kependidikan dan tenaga penunjang
pendidikan pada perguruan tinggi yang menyiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian;
4. Sarana akademik
Semua peralatan penunjang pelaksanaan kegiatan akademik
perguruan tinggi sebagai persyaratan pendidikan suatu
perguruan tinggi;
5. Kerjasama
Perguruan tinggi dapat menjalin kerjasama dengan perguruan
tinggi dan/atau lembaga lain baik di dalam maupun di luar
negeri yang bertujuan untuk saling meningkatkan dan
mengembangkan kinerja pendidikan tinggi yang bekerjasama
dalam rangka memelihara, membina, memberdayakan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
6. Program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
Penelitian merupakan unsur pelaksana di lingkungan perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik untuk
melaksanakan kegiatan penelitian/pengkajian.
Pengabdian kepada masyarakat merupakan unsur pelaksana di
lingkungan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat dan ikut mengusahakan
sumberdaya yang diperlukan masyarakat serta mengendalikan
administrasi sumberdaya yang diperlukan.
b. Administrasi Kepegawaian;
c. Prasarana Kampus;
d. Pembiayaan
e. Tahapan penetapan sasaran dan kuantitatif dalam bidang
akademik, organisasi dan ketalaksanaan serta pengembangan
kampus.
(3) RIP disusun berdasarkan hasil studi kelayakan.

Pasal 6

Studi kelayakan mencakup :

a. Latar belakang dan tujuan pendirian perguruan tinggi;
b. Bentuk dan nama perguruan tinggi;
c. Lembaga penunjang kegiatan pendidikan, penelitian, pengabdian
kepada masyarakat, administrasi dan perangkat teknis lainnya
seperti laboratorium dan perpustakaan;
d. Dosen dan tenaga kependidikan lain serta pengembangannya;
e. Tenaga administrasi dan rencana pengembangannya;
f. Sumber dana kegiatan akademik;
g. Tanah yang dimiliki/dikuasai untuk pembangunan kampus;
h. Bidang ilmu yang akan diselenggarakan;
i. Daya tampung mahasiswa dalam lima tahun mendatang;
j. Kebutuhan masyarakat akan tenaga ahli yang akan dihasilkan;
k. Prospek minat mahasiswa;
l. Fasilitas fisik yang ada seperti ruang kuliah, ruang dosen,
ruang laboratorium, studio, ruang unit pelaksana teknis,
ruang instalasi dan ruang kantor serta rencana pengembangannya;
m. Pembiayaan selama lima tahun yang meliputi biaya investasi,
penyelenggaraan dan proyeksi aliran dana;
n. Kesimpulan studi kelayakan yang meliputi analisis akademik
dan administratif, analisis keuangan dan analisis pemenuhan
kepentingan masyarakat dan pembangunan.

Pasal 7

(1) Kurikulum ditetapkan oleh penyelenggara perguruan tinggi yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian
dari program kegiatan akademik;
(3) Program kegiatan akademik memuat keterangan mengenai jurusan/
bagian/program studi, tujuan, silabi, peraturan akademik dan
administratif serta prospek lulusan perguruan tinggi yang
keseluruhannya itu tersusun dalam buku pedoman/katalog.
(4) Program kegiatan akademik disusun berdasarkan semester.


Pasal 8

(1) Dosen tetap pada perguruan tinggi yang baru didirikan untuk
setiap program studi sekurang-kurangnya 6 (enam) orang dengan
latar belakang pendidikan sama/sesuai dengan program studi yang
diselenggarakan dan dengan kualifikasi yang memenuhi syarat.
(2) Program studi yang didalam penyelenggaraannya memerlukan dukungan
lebih dari satu jurusan/bagian, maka selain ketentuan ayat (1)
disyaratkan pula harus mempunyai dosen tetap dari masing-masing
jurusan bagian pendukung.
(3) Pada perguruan tinggi yang baru didirikan secara mandiri maupun
melalui kerjasama dengan pihak asing dosen tetap sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat digantikan dengan
dosen kontrak yaitu seseorang yang memenuhi syarat dosen yang
dikontrak untuk masa sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
dosen tetap atau dosen perguruan tinggi asing mitra kerjasama
yang ditugaskan sebagai dosen tetap pada perguruan tinggi yang
baru.

Pasal 9

Persyaratan minimal yang berkenaan dengan jumlah dan kualifikasi
dosen, program studi, jumlah dan kualifikasi tenaga administrasi dan
penunjang akademik tercantum dalam Lampiran angka 1, 2 dan 3
Keputusan ini.

Pasal 10

Untuk setiap program studi pada Program Diploma dan Program S1 jumlah
calon mahasiswa sekurang-kurangnya 30 orang dan sebanyak-banyaknya
disesuaikan dengan nisbah dosen tetap dengan mahasiswa, untuk
kelompok bidang ilmu pengetahuan sosial 1 : 30 dan untuk kelompok
bidang ilmu pengetahuan alam 1 : 20.

Pasal 11

Sumber pembiayaan perguruan tinggi disediakan oleh penyelenggara
perguruan tinggi yang bersangkutan untuk menjamin kelancaran
penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai dengan peranan, tugas dan
fungsi perguruan tinggi.

Pasal 12

(1) Tanah tempat mendirikan perguruan tinggi dimiliki dengan bukti
sertifikat sendiri atau disewa/kontrak untuk sekurang-kurangnya
20 (dua puluh) tahun dengan hak opsi, yang dinyatakan dalam
perjanjian.
(2) Sarana dan prasarana lainnya dimiliki sendiri atau disewa/kontrak
untuk sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang dibuktikan dengan
sertifikat atau perjanjian meliputi fasilitas fisik pendidikan
dengan ketentuan minimal:
a. Ruang kuliah : 0.5 m2 per mahasiswa;
b. Ruang dosen tetap : 4 m2 per orang
c. Ruang administrasi dan kantor 4 m2 per orang;
d. Ruang perpustakaan dengan buku pustaka:
1. Program Diploma dan Program S1
a. buku mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) 1 judul.
per-mata kuliah;
b. buku mata kuliah ketrampilan dan keahlian (MKK) 2 judul
per-mata kuliah;
c. jumlah buku sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa
dengan memperhatikan komposisi jenis judul;
d. berlangganan jurnal ilmiah sekurang-kurangnya 1 judul
untuk setiap program studi;
2. Program S2 untuk setiap program studi : 500 judul buku dan
berlangganan minimal dua jurnal ilmiah yang terakreditasi
pada bidang studi yang relevan;
e. Ruang laboratorium dan unit komputer serta sarana untuk
praktikum dan/atau penelitian sesuai dengan ketentuan yang
diatur oleh Direktur Jenderal;
(3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya memenuhi persyaratan minimal yang tercantum dalam
Lampiran angka 4 Keputusan ini.

Pasal 13

Penyelenggara perguruan tinggi terdiri atas Departemen Pendidikan
Nasional, Departemen lain atau LPND bagi PTN atau PTK dan BP-PTS bagi
PTS.

Pasal 14

Pendirian perguruan tinggi di lingkungan Departemen Agama selain
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 12 juga memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

Pasal 15

(1) Persyaratan pendirian PTS oleh BP-PTS selain tercantum dalam Pasal
4 sampai dengan Pasal 12 meliputi pula persyaratan
a. BP-PTS tercatat pada Pengadilan Negeri setempat;
b. Ada jaminan tersedianya dana yang cukup untuk
1. penyelenggaraan program pendidikan selama empat tahun bagi
akademi dan politeknik;
2. Penyelenggaraan program pendidikan selama enam tahun bagi
sekolah tinggi, institut dan universitas.
(2) Pendirian PTS oleh BP-PTS dengan partisipasi asing, selain harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus
memenuhi persyaratan
a. Adanya bauran nasional dan asing dalam kepengurusan BP-PTS;
b. Adanya dukungan dari perguruan tinggi di luar negeri yang sudah
akreditasi di negaranya dalarn bentuk :
1. dukungan manajemen, yaitu dukungan operasi pengelolaan bidang
akademik dan administrasi terhadap PTS yang akan didirikan;
2. dukungan dosen, dengan menempatkan dosen yang berpengalaman
dari perguruan tinggi induk di luar negeri sekurang-kurangnya
7 (tujuh) tahun untuk program sarjana/pasca sarjana dan 5
(lima) tahun untuk program diploma.

Pasal 16

Persyaratan Pendirian PTK selain tercantum dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 12 meliputi pula persyaratan

a. menghasilkan lulusan yang jumlah dan/atau kualifikasinya belum dapat
dipenuhi oleh PTN dan PTS;
b. mahasiswa berasal dan pegawai pada Departemen/LPND yang bersangkutan
atau penugasan dari Departemen/LPND lain atau semua lulusannya
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Departemen/LPND yang
bersangkutan;
c. PTK berbentuk akademi, politeknik atau sekolah tinggi.

Pasal 17

Persyaratan perubahan bentuk perguruan tinggi sama dengan persyaratan
pendirian perguruan tinggi, dengan ketentuan:
a. Bagi Perguruan tinggi negeri, telah meluluskan sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) angkatan;
b. Bagi PTK telah meluluskan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) angkatan,
dan tidak berkembang menjadi bentuk institut/universitas;
c. Bagi PTS telah meluluskan sekurang-kurangnya 5 (lima) angkatan
dengan ketentuan semua ujian yang diselenggarakan dalam satu tahun
akademik dihitung sebagai 1(satu) angkatan ujian.

Pasal 18

(1) Penambahan/perubahan/penutupan fakultas pada PTN ditetapkan oleh
Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang
menangani pendayagunaan aparatur negara.
(2) Penambahan/perubahan/penutupan fakultas pada PTS ditetapkan oleh
BP-PTS dan dilaporkan kepada Menteri.
(3) Penambahan/perubahan/penutupan jurusan/bagian dan program studi
pada PTN ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(4) Penambahan/perubahan/penutupan program studi pada PTK ditetapkan
oleh Menteri lain atau pimpinan LPND setelah mendapat persetujuan
Direktur Jenderal.
(5) Penambahan/perubahan/penutupan program studi pada PTS ditetapkan
oleh BP-PTS setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal.


BAB III

TATA CARA

Pasal 19

Tata cara pendirian perguruan tinggi meliputi :
1. Usul pendirian untuk dipertimbangkan;
2. Pemberian pertimbangan
3. Pengajuan usul persetujuan pendirian; .
4. Pemberian persetujuan;
5. Penetapan pendirian;
6. Penetapan statuta.

Pasal 20

(1) Usul pendirian Perguruan Tinggi oleh pemrakarsa disampaikan
kepada Direktur Jenderal bagi PTN, PTS dan PTK.
(2) Semua usulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi
dengan melampirkan persyaratan pendirian perguruan tinggi dan
hasil studi kelayakan sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 6.

Pasal 21

(1) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, Direktur Jenderal memberi pertimbangan kepada pemrakarsa tentang kemungkinan persetujuan atau penolakan pendirian perguruan tinggi.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:
a. Pemenuhan persyaratan pendirian perguruan tinggi.
b. pengembangan dan keseimbangan kelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian dengan mempercepat pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan penerapannya.
c. pengembangan peta pendidikan di suatu wilayah yang menggambarkan jumlah dan bentuk perguruan tinggi yang sudah ada, jenis program studi yang diselenggarakan, sebaran lembaga dan daya dukung wilayah yang bersangkutan.
d. Pengembangan bidang ilmu yang strategis, dengan membatasi bidang ilmu yang telah dianggap mencukupi kebutuhan pembangunan.

Pasal 22

(1) Selambat-lambatnya dalam jangka~ waktu 3 (tiga) tahun setelah pertimbangan Direktur Jenderal yang memungkinkan pendirian perguruan tinggi, pemrakarsa telah mengajukan usul persetujuan pendirian dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 4 sarnpai dengan Pasal 17

(2) Usul persetujuan pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada:
a. Menteri, Menteri lain atau pimpinan LPND bagi PTN dan PTK melalui Direktur Jenderal;
b. Menteri melalui Direktur Jenderal bagi PTS dengan melampirkan:
1. Referensi Bank dan bukti lain berkenaan dengan dana
penyelenggaran PTS;
2. Akte Notaris Pendirian BP-PTS;
3. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PTS;
4. Surat Keterangan tidak terlibat pelanggaran hukum bagi pengurus BP-PTS;
5. Sertifikat atau perjanjian/sewa kontrak tanah dan prasarana fisik lainnya.

Pasal 23

(1) Atas dasar usul persetujuan pendirian sebagaimana dimaksud Pasal 22:
a. Menteri mengajukan usul persetujuan pendirian PTN kepada Menteri yang menangani pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan;
b. Menteri memberi atau menolak memberi rekomendasi pendirian PTK.
c. Direktur Jenderal atas narna Menteri memberi atau menolak memberi persetujuan pendirian PTS.

(2) Atas dasar rekomendasi Menteri, Menteri lain atau pimpinan LPND mengajukan usul persetujuan pendirian PTK kepada Menteri yang menangani pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan.

Pasal 24

(1) Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh Menteri, yang menangani pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan. Menteri:
a. menetapkan pendirian PTN yang berbentuk akademi atau politeknik;
b. mengajukan usul penetapan pendirian PTN yang berbentuk universitas, institut atau sekolah tinggi kepada Presiden;
(2). Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Keuangan, Menteri lain atau pimpinan LPND:
a. menetapkan pendirian PTK yang berbentuk akademi atau politeknik;
b. mengajukan usul penetapan pendirian PTK yang berbentuk sekolah tinggi kepada Presiden melalui Menteri;

Pasal 25

(1) Setelah ada ketetapan pendirian PTN atau PTK oleh Menteri, Menteri lain, pimpinan LPND atau Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, PTN dan PTK mengusulkan statuta perguruan tinggi yang bersangkutan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal, Menteri lain atau pimpinan LPND untuk ditetapkan dengan keputusan.
(2) Setelah ada ketetapan pendirian PTS, BP-PTS menetapkan statuta PTS yang bersangkutan atas usul senat.

Pasal 26

Setelah statuta ditetapkan, perguruan tinggi yang bersangkutan baru dapat menyelenggarakan kegiatannya.

Pasal 27

Tata cara pendirian perguruan tinggi di lingkungan Departemen Agama yang program studinya di luar bidang agama berlaku tata cara ketentuan pendirian PTK.

Pasal 28

Tata cara perubahan bentuk perguruan tinggi dan penambahan program studi berlaku tata cara pendirian perguruan tinggi yang diatur dalam keputusan ini.

BAB IV

PELAPORAN

Pasal 29

Perguruan tinggi wajib menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai keadaan sumber daya perguruan tinggi sebagaimana dipersyaratkan dalam Lampiran angka 1, 2, 3 dan 4 keputusan ini dengan disertai bukti-bukti selambat-lambatnya setiap akhir tahun akademik.


BAB V

PEMBINAAN

Pasal 30

Menteri melakukan pembinaan perguruan tinggi yang dapat berupa:
a. peningkatan bantuan penyediaan sumberdaya;
b. pengurangan atau penghentian bantuan penyediaan sumberdaya bagi program-program tertentu;
c. penghentian pelaksanaan program-program tertentu;
d. penangguhan untuk sementara otonomi pengelolaan perguruan tinggi yang bersangkutan;
e. pembinaan lainnya yang dipandang perlu; atau
f. penutupan perguruan tinggi.

BAB VI

KETENTUAN LAIN

Pasal 3l

Program pendidikan tinggi yang memberikan gelar akademik dan sebutan profesional hanya dapat diselenggarakan pada perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Keputusan ini.

Pasal 32

Perguruan tinggi atau lembaga asing dapat melaksanakan kegiatan pendidikan di Indonesia melalui kerjasama dengan mitra kerja di Indonesia, baik dengan perguruan tinggi yang sudah ada atau secara bersama mendirikan perguruan tinggi baru dengan persyaratan tersebut
dalam Pasal 15.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33

Dengan berlakunya keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0222/U/1998 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi dan semua ketentuan yang bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 34

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2000

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL


TTD

YAHYA A. MUHAIMIN


SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada:

1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,
2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,
3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional,
4. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional,
5. Semua Rektor Universitas/Institut, Ketua Sekolah Tinggi,
Direktur Politeknik/Akaderni, di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional,
6. Sekretaris Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional,
7. Semua Kepala Biro, Direktur, Kepala Pusat, dan Inspektur dalam lingkungan Departernen Pendidikan Nasional,
8. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
9. Semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
10. Komisi VI DPR-RI,
























SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 232/U/2000

TENTANG

PEDOMAN PENYUSUNAN KURIKULUM PENDIDIKAN TINGGI
DAN PENILAIAN HASIL BELAJAR MAHASISWA

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dipandang perlu menetapkan kembali Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6 1989, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3374);

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3859);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN KURIKULUM PENDIDIKAN TINGGI DAN PENILAIAN HASIL BELAJAR MAHASISWA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan tinggi adalah kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan. teknologi dan/atau kesenian.
2. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut. atau universitas.
3. Pendidikan akademik adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dan diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.
4. Pendidikan profesional adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu dan diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas.
5. Program studi adalah kesatuan rencana belajar sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan akademik dan/atau profesional yang diselenggarakan atas dasar suatu kurikulum serta ditujukan agar mahasiswa dapat menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan sasaran kurikulum.
6. Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar - mengajar di perguruan tinggi
7. Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
8. Kelompok matakuliah keilmuan dan ketrampilan (MKK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang ditujukan terutama untuk memberikan landasan penguasaan ilmu dan ketrampilan tertentu.
9. Kelompok matakuliah keahlian berkarya (MKB) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan menghasilkan tenaga ahli dengan kekaryaan berdasarkan dasar ilmu dan ketrampilan yang dikuasai.
10. Kelompok matakuliah perilaku berkarya (MPB) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan dasar ilmu dan ketrampilan yang dikuasai.
11. Kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang diperlukan seseorang untuk dapat memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
12. Sistem kredit semester adalah suatu sistem penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan satuan kredit semester (SKS) untuk menyatakan beban studi mahasiswa, beban kerja dosen, pengalaman belajar, dan beban penyelenggaraan program.
13. Semester adalah satuan waktu kegiatan yang terdiri atas 16 sampai 19 minggu kuliah atau kegiatan terjadwal lainnya, berikut kegiatan iringannya, termasuk 2 sampai 3 minggu kegiatan penilaian.
14. Satuan kredit semester selanjutnya disingkat SKS adalah takaran penghargaan terhadap pengalaman belajar yang diperoleh selama satu semester melalui kegiatan terjadwal per minggu sebanyak 1 jam perkuliahan atau 2 jam praktikum, atau 4 jam kerja lapangan, yang masing-masing diiringi oleh sekitar 1 - 2 jam kegiatan terstruktur dan sekitar 1 - 2 jam kegiatan mandiri.
15. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.

BAB II
TUJUAN DAN ARAH PENDIDIKAN

Pasal 2

(1) Pendidikan akademik bertujuan menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akdemik dalam menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, serta menyebarluaskan dan mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
(2) Pendidikan profesional bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan profesional dalam menerapkan, mengembangkan, dan menyebarluaskan teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.


Pasal 3

(1) Pendidikan akademik terdiri atas program sarjana, program magister, dan program doktor.
(2) Program sarjana diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:
a. menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya;
b. mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;
c. mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat;
d. mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang merupakan keahliannya.
(3) Program magister diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. mempunyai kemampuan mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dengan cara menguasai dan memahami, pendekatan, metode, kaidah ilmiah disertai ketrampilan penerapannya;
b. mempunyai keinampuan rnemecahkan permasalahan di bidang keahliannya melalui kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah:
c. mempunyai kemampuan mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan dengan ketajaman analisis permasalahan, keserbacakupan tinjauan, kepaduan pemecahan masalah atau profesi yang serupa;

(4) Program doktor diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:
a. mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu, teknologi, dan/atau kesenian baru di dalam bidang keahliannya melalui penelitian;
b. mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan mengembangkan program penelitian:
c. mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang keahliannya.

Pasal 4

(1) Pendidikan profesional terdiri atas program diploma I, diploma II, diploma III, dan diploma IV.
(2) Program diploma I diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin, atau memecahkan masalah yang sudah akrab sifat-sifat maupun kontekstualnya di bawah bimbingan.
(3) Program diploma II diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin, atau memecahkan masalah yang sudah akrab sifat-sifat maupun kontekstualnya secara mandiri, baik dalam bentuk pelaksanaan maupun tanggungjawab pekerjaannya.
(4) Program diploma III diarahkan pada lulusan yang menguasai kemampuan dalam bidang kerja yang bersifat rutin maupun yang belum akrab dengan sifat-sifat maupun kontekstualnya, secara mandiri dalam pelaksanaan maupun tanggungjawab pekerjaannya, serta mampu melaksanakan pengawasan dan bimbingan atas dasar ketrampilan manajerial yang dimilikinya.
(5) Program diploma IV diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks, dengan dasar kemampuan profesional tertentu, termasuk ketrampilan merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah dengan tanggungjawab mandiri pada tingkat tertentu, memiliki ketrampilan manajerial, serta mampu mengikuti perkembangan, pengetahuan, dan teknologi di dalam bidang keahliannva.


BAB III
BEBAN DAN MASA STUDI

Pasal 5

(1) Beban studi program sarjana sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dan 8 (delapan) semester dan selama-lamanya 14 (empat belas) semester setelah pendidikan menengah.
(2) Beban studi program magister sekurang-kurangnya 36 (tiga puluh enam) SKS dan sebanyak-banyaknya 50 (lima puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 4 (empat) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dan 4 (empat) semester dan selama-lamanya 10 (sepuluh) semester termasuk penyusunan tesis, setelah program sarjana, atau yang sederajat.
(3) Beban studi program doktor adalah sebagai berikut:
a. Beban studi program doktor bagi peserta yang berpendidikan sarjana (S1) sebidang sekurang-kurangnya 76 (tujuh puluh enam) SKS yang dijadwalkan untuk sekurang-kurangnya 8 (delapan) semester dengan lama studi selama-lamanya 12 (dua belas) semester;
b. Beban studi program doktor bagi peserta yang berpendidikan sarjana (S1) tidak sebidang sekurang-kurangnya 88 (delapan puluh delapan) SKS yang dijadwalkan untuk 9 (sembilan) semester dan dapat ditempuh kurang dan 9 (sembilan) semester dengan lama studi selama-lamanya 13 (tiga belas) semester;
c. Beban studi program doktor bagi peserta yang berpendidikan magister (S2) sebidang sekurang-kurangnva 40 (empat puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 4 (empat) semester dan dapat ditempuh kurang dari 4 (empat) semester dengan lama studi selama-lamanya 10 (sepuluh) semester;
d. Beban studi program doktor bagi peserta yang berpendidikan magister (S2) tidak sebidang sekurang-kurangnya 52 (lima puluh dua) SKS yang dijadwalkan untuk 5 (lima) semester dan dapat ditempuh kurang dari 5 (lima) semester dengan lama studi selama-lamanya 11 (sebelas) semester.

Pasal 6

(1) Beban studi program diploma I sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) SKS dan sebanyak-banyaknya 50 (lima puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 2 (dua) semester dan dapat ditempuh dalam waktu sekurang-kurangnya 2 (dua) semester dan selama-lamanya 4 (empat) semester setelah pendidikan menengah.
(2) Beban studi program diploma II sekurang-kurangnya 80 (delapan puluh) SKS dan sebanyak-banyaknya 90 (sembilan puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 4 (empat) semester dan dapat ditempuh dalam waktu sekurang-kurangnya 4 (empat) semester dan selama-lamanya 6 (enam) semester setelah pendidikan menengah.
(3) Beban studi program diploma III sekurang-kurangnya 110 (seratus sepuluh) SKS dan sebanyak-banyaknya 120 (seratus dua puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 6 (enam) semester dan dapat ditempuh dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) semester dan selama-lamanya 10 (sepuluh) semester setelah pendidikan menengah.
(4) Beban studi program diploma IV sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 8 (delapan) semester dan selama-lamanya 14 (empat belas) semester setelah pendidikan menengah.


BAB IV
KURIKULUM INTI DAN KURIKULUM INSTITUSIONAL

Pasal 7

(1) Kurikulum pendidikan tinggi yang menjadi dasar penyelenggaraan program studi terdiri atas
a. Kurikulum inti;
b. Kurikulum institusional.
(2) Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara nasional.
(3) Kurikulum inti terdiri atas kelompok rnatakuliah pengembangan kepribadian, kelompok mata kuliah yang mencirikan tujuan pendidikan dalam bentuk penciri ilmu pengetahuan dan ketrampilan, keahlian berkarya, sikap berperilaku dalam berkarya. dan cara berkehidupan bermasyarakat, sebagai persyaratan minimal yang harus dicapai peserta didik dalam penyelesaian suatu program studi.
(4) Kurikulum institusional merupakan sejumlah bahan kajian dan pelajaran yang merupakan bagian dan kurikulum pendidikan tinggi, terdiri atas tambahan dan kelompok ilmu dalam kurikulum inti yang disusun dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri khas perguruan tinggi yang bersangkutan.

Pasal 8

(1) Kurikulum inti program sarjana dan program diploma terdiri atas :
a. kelompok MPK;
b. kelompok MKK;
c. kelompok MKB;
d. kelompok MPB;
e. kelompok MBB.
(2) Kurikulum inti program sarjana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berkisar antara 40% - 80% dan jumlah SKS kurikulum program sarjana.
(3) Kurikulum inti program diploma sekurang-kurangnya 40% dari jumlah SKS kurikulum program diploma.


Pasal 9

Kurikulum institusional program sarjana dan program diploma terdiri atas keseluruhan atau sebagian dan:
a. kelompok MPK yang terdiri atas matakuliah yang relevan dengan tujuan pengayaan wawasan, pendalaman intensitas pemahaman dan penghayatan MPK inti.;
b. kelompok MKK yang terdiri atas matakuliah yang relevan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan kompetensi keilmuan atas dasar keunggulan kompetitif serta komparatif penyelenggaraan program studi bersangkutan;
c. kelompok MKB yang terdiri atas matakuliah yang relevan, bertujuan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan kompetensi keahlian dalam berkarya di masvarakat sesuai dengan keunggulan kompetitif serta komparatif penyelenggaraan program studi bersangkutan;
d. kelompok MPB yang terdiri atas matakuliah yang relevan, bertujuan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan perilaku berkarya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di masyarakat untuk setiap program studi;
e. kelompok MBB yang terdiri atas matakuliah yang relevan dengan upaya pemahaman serta penguasaan ketentuan yang berlaku dalam berkehidupan di masyarakat, baik secara nasional maupun global, yang membatasi tindak kekaryaan seseorang sesuai dengan kompetensi keahliannva.

Pasal 10

(1) Kelompok MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi terdiri atas Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama. dan Pendidikan Kewarganegaraan.
(2) Dalam kelompok MPK secara institusional dapat termasuk bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Alamiah Dasar, Filsafat Ilmu, Olah Raga dan sebagainya.

Pasal 11

(1) Kurikulum inti untuk setiap program studi pada program sarjana, program magister, program doktor, dan program diploma ditetapkan oleh Menteri.
(2) Kurikulum institusional untuk setiap program studi pada program sarjana, program magister, program doktor, dan program diploma ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi.


BABV

PENILAIAN HASIL BELAJAR MAHASISWA

Pasal 12

(1) Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar mahasiswa dilakukan penilaian secara berkala yang dapat berbentuk ujian, pelaksanaan tugas, dan pengamatan oleh dosen.
(2) Ujian dapat diselenggarakan melalui ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian akhir program studi, ujian skripsi, ujian tesis, dan ujian disertasi.
(3) Penilaian hasil belajar dinyatakan dengan huruf A, B, C, D, dan E yang masing-masing bernilai 4, 3, 2, 1, dan 0.


Pasal 13

Masing-masing pimpinan perguruan tinggi dapat menetapkan mahasiswa putus kuliah berdasarkan kriteria yang diatur dalarn keputusan pimpinan perguruan tinggi.

Pasal 14

(1) Syarat kelulusan program pendidikan ditetapkan atas pemenuhan jumlah SKS yang disyaratkan dan indeks prestasi kumulatif(IPK) minimum.
(2) Perguruan tinggi menetapkan jumlah SKS yang harus ditempuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan berpedoman pada kisaran beban studi bagi masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8.
(3) IPK minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi, sama atau lebih tinggi dari 2,00 untuk program sarjana dan program diploma, dan sama atau lebih tinggi dan 2,75 untuk program magister.

Pasal 15

(1) Predikat kelulusan terdiri atas 3 tingkat yaitu : memuaskan, sangat memuaskan, dan dengan pujian, yang dinyatakan pada transkrip akademik.
(2) IPK sebagai dasar penentuan predikat kelulusan program sarjana dan program diploma adalah:
a. IPK 2,00 - 2,75 : memuaskan;
b. IPK 2,76 - 3.50 : sangat memuaskan;
c. IPK 3.51 - 4,00 : dengan pujian.
(3) Predikat kelulusan untuk program magister:
a. IPK 2,75 - 3,40 : memuaskan;
b. IPK 3.41 - 3,70 : sangat memuaskan:
c. IPK 3,71 - 4,00 : dengan pujian.
(4) Predikat kelulusan dengan pujian ditentukan juga dengan memperhatikan masa studi maksimum yaitu n tahun (masa studi minimum) ditambah 1 tahun untuk program sarjana dan tambah 0,5 tahun untuk program magister.
(5) Predikat kelulusan untuk program doktor diatur oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.


Pasal 16

(1) Penilaian terhadap hasil belajar mahasiswa dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan dengan cara yang sesuai dengan karakteristik pendidikan yang bersangkutan.
(2) Untuk mendorong pencapaian prestasi akademik yang lebih tinggi dapat dikembangkan sistem penghargaan pada mahasiswa dan lulusan yang memperoleh prestasi tinggi.


BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 17

Dengan berlakunya Keputusan ini, kurikulum yang berlaku secara nasional program sarjana, program magister, program doktor, dan program diploma yang telah ada masih tetap berlaku dan disesuaikan dengan Keputusan ini paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Keputusan ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 18

Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 19
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2000


MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Ttd.
YAHYA A. MUHAIMIN



SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,
2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,
3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional.
4. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
5. Semua Rektor Universitas/Institut, Ketua Sekolah Tinggi, Direktur Politeknik/ Akademi, di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional,
6. Sekretaris Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pendidikan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional,
7. Semua Kepala Biro, Direktur, Kepala Pusat, dan Inspektur dalam lingkungan De-partemen Pendidikan Nasional,
8. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta;
9. Semua Gubernur Kepala daerah Tingkat I,
10. Komisi VI DPR-RI

Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Hubungan. Masyarakat
Departemen Pendidikan Nasional
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan



M u s 1 i k h, S.H.
NIP. 131 479478










SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 223 /U/1998
TENTANG
KERJASAMA ANTAR PERGURUAN TINGGI

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
Menimbang :
a. bahwa dengan meningkatnya hubungan kerjasama antar perguruan tinggi akibat pengaruh era globalisasi perlu mengatur hubungan perguruan tinggi dengan perguruan tinggi atau lembaga lain baik di dalam maupun di luar negeri;
b. bahwa sehubungan dengan itu dan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 122 dan Pasal 123 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kerjasama Antar Perguruan Tinggi;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1998;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia
a. Nomor 44 Tahun 1974;
b. Nomor 61 Tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 1998;
c. Nomor 122/M Tahun 1998;
1. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
a. Nomor 0222c/O/1980;
b. Nomor 088/O/1983;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KERJASAMA ANTAR PERGURUAN TINGGI.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Kerjasama adalah kerjasama perguruan tinggi dengan
a. perguruan tinggi lain di dalam negeri;
b. lembaga lain di dalam negeri;
c. perguruan tinggi di luar negeri;
d. lembaga lain di luar negeri;
2. Perguruan tinggi adalah akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas.
3. Program pemindahan kredit adalah pengakuan terhadap hasil kegiatan belajar-mengajar mahasiswa antar perguruan tinggi yang bekerjasama.
4. Kontrak manajemen adalah kerjasama. dalam bidang pengelolaan operasional perguruan tinggi dengan. pemberian bantuan sumberdaya baik manusia , finansial, informasi, maupun fisik serta konsultasi.
5. Program kembaran adalah penyelenggaraan kegiatan antar perguruan tinggi untuk melaksanakan suatu program studi secara. bersama serta saling mengakui lulusannya.
Pasal 2
Kerjasama bertujuan untuk saling meningkatkan dan mengembangkan kinerja pendidikan tinggi yang bekerjasama dalam rangka memelihara, membina, memberdayakan, dan mengembangkan i1mu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.
Pasal 3
Kerjasama dapat meliputi :
1. kegiatan pengelolaan perguruan tinggi;
2. kegiatan pendidikan;
3. kegiatan penelitian;
4. kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Pasal. 4
Kerjasama dapat berbentuk kegiatan :
1. kontrak manajemen;
2. program kembaran;
3. penelitian;
4. pengabdian kepada masyarakat;
5. tukar menukar dosen dan/atau mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan akademik;
6. pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik;
7. program pemindahan kredit;
8. penerbitan bersama karya ilmiah;
9. penyelenggaraan bersama pertemuan ilmiah atau kegiatan ilmiah lain;
10. lain-lain yang dianggap perlu.
Pasal 5
Kerjasama hanya dapat dilakukan secara kelembagaan dengan direktur akademi/politeknik, ketua sekolah tinggi, dan rektor universitas/institut sebagai penanggungjawab.
Pasal 6
1. Kerjasama perguruan tinggi dengan perguruan tinggi atau lembaga lain di Indonesia dapat dilakukan setelah pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan melaporkannya kepada Menteri, Menteri lain, atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggungJawab atas penyelenggaraan perguruan tinggi yang bersangkutan.
2. Kerjasama perguruan tinggi dengan perguruan tinggi atau lembaga lain di luar negeri dalam kegiatan kontrak manajemen, program kembaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis Menteri, Menteri lain, atau Pimpinan lembaga non Departemen yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan perguruan tinggi yang bersangkutan.
3. Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan dengan melaporkan kepada penyelenggara perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 7
1. Usul kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disampaikan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, dan bagi perguruan tinggi swasta menyampaikan pula tembusannya kepada koordinator koordinasi perguruan tinggi swasta (Kopertis).
2. Usul sebagaimana dimaksud dalam. ayat (1) hanya dapat diajukan apabila :
a. tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. tidak mengganggu kebijaksanaan pembangunan bangsa dan negara, pertahanan dan keamanan nasional, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat;
c. bagi perguruan tinggi asing, mempunyai program studi yang sama. dan telah memperoleh akreditasi di negaranya;
d. kerjasama. pada program studi diprioritaskan dalam bidang-bidang yang lulusannya sangat diperlukan seperti bidang ilmu pengetahuan teknologi, ekonomi, dan manajemen.
Pasal 8
Kegiatan akademik yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi di Indonesia sebagai pelaksanaan kerjasama. dengan perguruan tinggi asing mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pendidikan tinggi di Indonesia yaitu:
1. memenuhi syarat-syarat minimal dosen, sarana dan prasarana yang ditentukan bagi penyelenggaraan suatu program studi;
2. jenis program pendidikan adalah pendidikan akademik yang meliputi pendidikan sarjana (SI), magister (S2), doktor (S3) dan pendidikan profesional yang meliputi pendidikan, diploma dan spesialis.
3. memenuhi beban studi yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks) yang ditetapkan untuk masing-masing jenjang pendidikan;
4. kurikulum yang dikembangkan berpedoman pada kurikulum nasional;
5. gelar dan sebutan yang diberikan kepada lulusan adalah gelar dan sebutan yang berlaku bagi pendidikan tinggi di Indonesia.
Pasal 9
1. Perguruan tinggi atau lembaga lain di luar negeri dapat melakukan kerjasama dalam bentuk kontrak manajemen dengan perguruan tinggi di Indonesia yang sudah ada atau mendirikan perguruan tinggi baru dengan berpatungan bersama mitra kerja di Indonesia melalui pembentukan badan penyelenggara perguruan tinggi swasta, berupa yayasan, perkumpulan sosial, dan/atau badan wakaf.
2. Pembentukan perguruan tinggi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan untuk pendirian perguruan tinggi serta ketentuan penyelenggaraan program studi yang berlaku di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
3. Lulusan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selain memperoleh gelar Indonesia dimungkinkan pula memperoleh gelar asing yang dikeluarkan oleh perguruan,tinggi asing mitra kerjasama.
Pasal 10
Kerjasama antar perguruan tinggi dalam bentuk program pemindahan kredit dilakukan dengan mengakui kredit yang diperoleh melalui kegiatan akademik masing-masing.
Pasal 11
1. Perguruan tinggi asing yang melaksanakan kerjasama dalam bentuk program kembaran dengan perguruan tinggi di Indonesia wajib memberikan bantuan dalam melaksanakan pendidikan pada suatu program studi sehingga lulusannya selain memenuhi persyaratan perguruan tinggi di Indonesia dapat pula. diakui oleh perguruan tinggi asing yang bersangkutan
2. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar dalam negeri, sebagian kegiatan proses belajar-mengajar dapat diselenggarakan, pada perguruan tinggi asing di luar negeri sebanyak-banyaknya 30% dari beban studi yang disyaratkan.
3. Lulusan perguruan tinggi penyelenggara program kembaran selain menerima gelar Indonesia, (sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)) dimungkinkan memperoleh gelar yang diberikan oleh perguruan tinggi asing yang bersangkutan.
Pasal 12
Proses persetujuan pelaksanaan kerjasama penelitian dilaksanakan secara. terkoordinasi bersama dengan departemen atau lembaga pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pasal 13
1. Bahasa Inggris dapat dipergunakan dalam. penyelenggaraan pendidikan tinggi sebanyak-banyaknya 50% jumlah sks dari beban studi.
2. Penggunaan bahasa Inggris yang melampaui 50% beban studi atau penggunaan bahasa asing lain wajib mendapat ijin tertulis dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Pasal 14
Penyelenggara pendidikan pada program sarjana dan program diploma yang menggunakan bahasa asing diwajibkan memasukkan pelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum yang digunakan sekurang-kurangnya 4 (empat) sks .
Pasal 15
Petunjuk pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Pasal 16
Dengan berlakunya Keputusan ini Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0109/U/1992 dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 September 1998
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
ttd.
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, M.A.
SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada :
1. Semua Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintan Non-Departemen,
2. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
3. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
4. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
5. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Sekretaris Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
6. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan,
7. Semua Rektor Universitas/Institut, Ketua Sekolah Tinggi dan Direktur Politeknik/Akademi di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
8. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
9. Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara setempat,
10. Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Departemen Keuangan,
11. Komisi VII DPR-RI,
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan,
Muslikh, S.H.
NIP: 131479478











SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 155 /U/1998
TENTANG
PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASISWAAN DI PERGURUAN TINGGI
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
Menimbang : a. bahwa pendidikan nasional telah mengalami perkembangan yang memerlukan penyesuaian dan pemantapan baik dalam hal kebijaksanaan maupun tatanannya;

b. bahwa pengembangan kehidupan kemahasiswaan adalah bagian integral dalam sistem pendidikan nasional sebagai kelengkapan kegiatan kurikuler;

c. bahwa organisasi kemahasiswaan perlu ditingkatkan peranannya sebagai perangkat perguruan tinggi dan sebagai warga sivitas akademika;

d. bahwa pengembangan organisasi kemahasiswaan perlu disesuaikan dengan pelaksanaan reformasi di bidang pendidikan tinggi dan tuntutan globalisasi pada masa mendatang;

e. bahwa sesuai dengan butir a, b, c, dan d dipandang perlu menetapkan pedoman umum organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi beserta perubahannya;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TENTANG PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASIS-WAAN DI PERGURUAN TINGGI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan
1. Organisasi kemahasiswaan intra. perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.
2. Tujuan pendidikan tinggi adalah :
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetatman, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
3. Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa untuk menanamkan sikap ilmiah, pemahaman tentang arah profesi dan sekaligus meningkatkan kerjasama, serta menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan.
4. Kegiatan kurikuler adalah kegiatan akademik yang meliputi : kuliah, pertemuan kelompok kecil (seminar, diskusi, responsi), bimbingan penelitian, praktikum, tugas mandiri, belajar mandiri, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (kuliah kerja nyata, kuliah kerja lapangan dan sebagainya).
5. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan kemahasiswaan yang meliputi: penalaran dan keilmuan, minat dan kegemaran, upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan bakti sosial bagi masyarakat.
Pasal 2
Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.
BAB II
BENTUK ORGANISASI KEMAHASISWAAN
Pasal 3
(1) Di setiap perguruan tinggi terdapat satu organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi yang menaungi semua aktivitas kemahasiswaan.
(2) Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi dibentuk pada tingkat perguruan tinggi, fakultas dan jurusan.
(3) Bentuk dan badan kelengkapan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan statuta perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4) Organisasi kemahasiswaan pada sekolah tinggi, politeknik, dan akademi menyesuaikan dengan bentuk kelembagaannya.
(5) Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi yang sejenis menyesuaikan dengan bentuk kelembagaannya.
BAB III
KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TANGGUNGJAWAB
Pasal 4
Kedudukan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 5
Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi mempunyai fungsi sebagai sarana dan wadah:
1. perwakilan mahasiswa tingkat perguruan tinggi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program dan kegiatan kemahasiswaan;
2. pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan;
3. komunikasi antar mahasiswa;
4. pengembangan potensi jatidiri mahasiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna di masa depan;
5. pengembangan pelatihan keterampilan organisasi, manajemen dan kepemimpinan mahasiswa;
6. pembinaan dan pengembangan kader-kader bangsa yang berpotensi dalam melanjutkan kesinambungan pembangunan nasional;
7. untuk memelihara dan mengembangkan ilmu dan teknologi yang dilandasi oleh norma-norma agama, akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan.
Pasal 6
Derajat kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi terhadap perguruan tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan perguruan tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan perguruan tinggi merupakan penanggungjawab segala kegiatan di perguruan tinggi dan/atau yang mengatasnamakan perguruan tinggi.
BAB IV
KEPENGURUSAN, KEANGGOTAAN DAN MASA BAKTI
Pasal 7
(1) Pengurus organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi pada masing-masing tingkat sekurang-kurangnya terdiri atas ketua umum, sekretaris dan anggota pengurus.
(2) Pengurus ditetapkan melalui pemilihan yang tatacara dan mekanismenya ditetapkan oleh mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 8
Keanggotaan organisasi kemahasiswaan pada masing-masing tingkat adalah seluruh mahasiswa yang terdaftar dan masih aktif dalam kegiatan akademik.
Pasal 9
Masa bakti pengurus organisasi kemahasiswaan maksimal 1 (satu) tahun dan khusus untuk ketua umum tidak dapat dipilih kembali.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 10
(1) Pembiayaan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi dibebankan pada anggaran perguruan tinggi yang bersangkutan dan/atau usaha lain seijin pimpinan perguruan tinggi dan dipertanggungiawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Penggunaan dana dalam kegiatan kemahasiswaan harus dapat dipertanggung jawabkan akuntabilitasnya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
Semua organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi yang telah ada pada saat ditetapkannya Keputusan ini agar menyesuaikan dengan Keputusan ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0457/0/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Petunjuk teknis pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1998
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
ttd.
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, M.A.
SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada
1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
4. Kepala Badan Penelitian dan. Pengembangan Pendidikan. dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
5. Sekretaris Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Badan Penelitian. dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan di lingkungan Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
6. Semua Rektor universitas/institut, Ketua sekolah tinggi, Direktur politeknik/akademi di lingkungan Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
7. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
8. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara,
9. Badan Pemeriksa Keuangan,
10. Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan,
11. Komisi VII DPR-RI.







SALINAN SURAT
DIREKTORAN JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN NASIONAL


6 September 2000
Nomor : 2668/D/T/2000
Lampiran : -
Perihal : Pembukaan program studi baru dan
pendirian perguruan tinggi baru.


Kepada Yth.
Rektor Universitas/Institut Negeri
Ketua Sekolah Tinggi Negeri
Direktur Politeknik Negeri
Koordinator Kopertis Wilayah I s/d XII


Kami sampaikan dengan hormat bahwa akhir-akhir ini cukup banyak keluhan yang diungkapkan oleh masyarakat terhadap kinerja Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengenai lambatnya layanan terhadap PTN dan PTS, khususnya kelambatan dalam penerbitan ijin pembukaan program studi baru maupun perguruan tinggi baru. Keluhan tersebut diungkapkan baik melalui media cetak maupun secara langsung kepada kami dalam berbagai forum atau pertemuan. Keluhan lain yang sering diungkapkan adalah ketidakadilan perlakuan antara PTN dan PTS dalam pemberian ijin penyelenggaraan suatu program.

Sehubungan dengan hal di atas dan untuk dapat meningkatkan layanan Ditjen Dikti kepada PTN dan PTS, khususnya dalam hal pembukaan program studi baru dan pendirian perguruan tinggi baru, kami mohon perhatian pimpinan PTN dan PTS akan beberapa hal sebagai berikut :

1. Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik tercatat angka pengangguran yang cukup tinggi untuk lulusan perguruan tinggi:
Tingkat Pendidikan
Penganggur 1997 1998 1999
--------------------------------------------------------------------
Diploma I/II 37.676 47.380 90.230
Diploma III 104.054 128.037 153.696
Sarjana 236.352 254.111 310.947
---------------------------------------------------------------------

2. Jumlah PTS per Desember 1999 adalah 1558 (sebagian besar berbentuk akademi dan sekolah tinggi) dengan jumlah program studi sebesar 6517, dan dalam tahun 1999 meluluskan 230.915 orang. Lokasi dengan populasiPTS terbesar berada di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.
3. Produksi PTN (menurut data September 1999) dalam tahun 1999 adalah 277.289 lulusan program diploma dan 78.045 lulusan program sarjana (termasuk disini lulusan Universitas Terbuka). Dominasi lulusan PTN adalah pada bidang ilmu sosial dan bidang kependidikan.
4. Dengan memperhatikan keadaan pada 3 butir di atas, maka diperlukan suatu upaya konsolidasi untuk sementara membatasi pertumbuhan program studi baru maupun perguruan tinggi baru. Upaya konsolidasi tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan lulusan perguruan tinggi yang menganggur dan menyesuaikan kemampuan lulusan dengan kebutuhan nyata dunia kerja.
5. Pencetakan lulusan perguruan tinggi secara terus menerus tanpa memperhatikan penyerapan lulusan di dunia kerja atau bahkan menciptakan lulusan yang menganggur merupakan suatu pemborosan.
6. Dalam upaya konsolidasi ini diharapkan agar setiap pimpinan PTN dan PTS dapat melakukan beberapa hal diantaranya :
a. Melakukan tracer study (studi pelacakan) untuk mengetahui secara pasti pekerjaan setiap lulusannya.
b. Melakukan relokasi sumber daya manusia yang ada agar kinerja lembaga menjadi lebih efisien. Relokasi tersebut dapat dilakukan melalui penggabungan jurusan/fakultas/perguruan tinggi, penutupan program studi yang sudah tidak layak, perubahan program studi ke arah kebutuhan nyata dunia kerja.
c. Melakukan koordinasi internal maupun eksternal, khususnya antar perguruan tinggi untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya sehingga tidak menimbulkan persaingan yang tidak sehat tetapi justru menumbuhkan suatu sinergi yang baik.
7. Dalam upaya konsolidasi ini, pembukaan program studi baru ataupun pendirian perguruan tinggi baru hanya dapat diproses apabila memenuhi kriteria tambahan (selain dari persyaratan akademik yang telah berlaku selama ini) sebagai berikut :
a. Adanya prospek pekerjaan yang nyata bagi lulusan program tersebut sehingga tidak menimbulkan penganggur baru (didukung dengan data survei).
b. Kepastian bahwa dengan pembukaan program baru tersebut tidak mengakibatkan beban tambahan bagi pemerintah (secara finansial) dan misi utama perguruan tinggi tersebut masih tetap tertangani dengan baik.
c. Untuk menjamin tidak terjadinya over-supply lulusan, maka program studi yang diusulkan tersebut harus dapat ditutup dan dibuka sesuai dengan kebutuhan. Untuk ini diperlukan kemampuan melakukan relokasi sumber daya perguruan tinggi.
d. Dalam pembukaan program studi baru hendaknya memperhatikan pula keadaan lingkungan yaitu keberadaan program studi perguruan tinggi lain di sekitarnya atau di wilayahnya sehingga tidak terjadi persaingan yang tidak sehat antar perguruan tinggi.
e. Khusus untuk pendirian perguruan tinggi swasta baru diutamakan pada daerah (wilayah) yang sama sekali belum ada perguruan tinggi di sekitarnya sedangkan populasi penduduknya cukup padat. Untuk kota besar atau wilayah yang sudah mempunyai PTS cukup banyak, disarankan supaya ada upaya penggabungan (merger) dari beberapa PTS kecil menjadi suatu PTS yang besar sehingga lebih efektif dan efisien dalam pengelolaannya.
Dengan upaya tersebut di atas, diharapkan konsolidasi penataan pendidikan tinggi di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan sekaligus meningkatkan layanan Ditjen Dikti kepada PTN dan PTS.
Semua pihak agar mempedomani hal-hal tersebut di atas.
Atas perhatian dan kerjasama yang diberikan, kami sampaikan t erima kasih.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
ttd
Satryo Soemantri Brodjonegoro
NIP. 130889802

Tembusan Yth:
1. Menteri Pendidikan Nasional (sebagai laporan)
2. Inspektur Jenderal Depdiknas
3. Sekretaris dan Direktur di Ditjen Dikti
4. Sekretaris DPT dan para Ketua Majelis dan KDI
4. Ketua Umum APTISI














SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 036/U/1993
TENTANG
GELAR DAN SEBUTAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI


MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Bab VII Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi
dipandang perlu menetapkan gelar dan sebutan lulusan
perguruan tinggi;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990;

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia :
a. Nomor 44 Tahun 1974;
b. Nomor 15 Tahun 1984, yang telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 67 Tahun 1992;
c. Nomor 64/M Tahun 1988;

4. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
a. Nomor 0222c/0/1980 tanggal 11 September 1980;
b. Nomor 0686/U/1991 tanggal 20 Desember 1991;

Memperhatikan : 1. Surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 113
/D/T/1993 tanggal 25 Januari 1993;

2. Hasil Rapat Kerja Nasional Rektor /Ketua/Direktur
Perguruan Tinggi Negeri dan Koordinator Koordinasi
Perguruan Tinggi Swasta di lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan se Indonesia tanggal 18
sampai dengan tanggal 20 November 1992 di Jakarta.

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK
INDONESIA TENTANG GELAR DAN SEBUTAN LULUSAN PERGURUAN
TINGGI.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Gelar akademik adalah gelar yang diberikan kepada lulusan perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik.

2. Sebutan profesional adalah sebutan yang diberikan kepada lulusan
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional.

3. Sebutan profesi adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang
memiliki gelar akademik yang telah menyelesaikan program keahlian
atau profesi bidang tertentu.

4. Pendidikan akademik adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada
penguasaan ilmu pengetahuan.

5. Pendidikan profesional adalah pendidikan yang diarahkan pada kesiapan
penerapan keahlian tertentu.

6. Program studi adalah kesatuan rencana belajar sebagai pedoman Penye -
lenggaraan pendidikan akademik dan/ atau profesional yang diselengga-
rakan atas dasar suatu kurikulum yang ditujukan agar mahasiswa dapat
menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan
sasaran kurikulum.

7. Menteri adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Pasal 2

1). Penetapan jenis gelar akademik, sebutan profesional dan sebutan
profesi didasarkan atas bidang keahlian.

2). Bidang keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk gelar
akademik merupakan program studi dan/atau pengelompokan program
studi.

3). Bidang keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk sebutan
profesional merupakan program studi

Pasal 3

1). Gelar akademik, sebutan profesional dan sebutan profesi yang diberi-
kan kepada lulusan perguruan tinggi dicantumkan dalam ijazah.

2). Dalam ijazah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan pula
nama bidang keahlian dan program studi yang bersangkutan secara
lengkap.

BAB II

GELAR AKADEMIK, SEBUTAN PROFESIONAL DAN SEBUTAN PROFESI

Pasal 4

1). Yang berhak menggunakan gelar akademik adalah lulusan pendidikan
akademik dari Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas.

2). Yang berhak menggunakan sebutan profesional adalah lulusan Pendidi-
kan profesional dari Akademi,Politeknik,Sekolah Tinggi, Institut
atau Universitas.

3). Yang berhak memberikan sebutan profesi adalah seseorang yang
memiliki gelar akademik dan telah menyelesaikan program keahlian
atau profesi dalam bidang tertentu.

Pasal 5

1). Yang berhak memberikan gelar akademik adalah Sekolah Tinggi,Institut
atau Universitas yang memenuhi persyaratan, sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

2). Yang berhak memberikan sebutan profesional adalah Akademi,
Politeknik,Sekolah Tinggi,Institut dan Universitas yang memenuhi
persyaratan,sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

BAB III

JENIS GELAR AKADEMIK

Pasal 6

Gelar akademik terdiri atas Sarjana,Magister dan Doktor.

Pasal 7

(1) Jenis gelar akademik Sarjana dan bidang keahlian serta singkatannya
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.

(2) Jenis gelar akademik Magister dan bidang keahlian serta singkatannya
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini.

(3) Jenis gelar akademik dan bidang keahlian serta singkatannya yang
belum tercantum dalam Lampiran I dan II, akan ditetapkan oleh
Direktur Jenderal.

Pasal 8

Penggunaan gelar akademik dan bidang keahlian untuk Sarjana dan Magister
dalam bentuk singkatan ditempatkan di belakang nama yang berhak atas
gelar yang bersangkutan.

Pasal 9

Gelar akademik Doktor disingkat Dr. ditempatkan di depan nama yang
berhak atas gelar yang bersangkutan.

BAB IV

JENIS SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 10

Sebutan profesional terdiri atas sebutan profesional untuk lulusan
Program Diploma dan sebutan profesional untuk lulusan Program Spesialis.

Pasal 11

Penggunaan sebutan profesional dalam bentuk singkatan ditempatkan
dibelakang nama yang berhak atas sebutan profesional yang bersangkutan.

Pasal 12

(1) Sebutan profesional lulusan Program Diploma terdiri atas:

1. Ahli Pratama untuk Program Diploma I disingkat A.P.
2. Ahli Muda untuk Program Diploma II disingkat A.Ma.
3. Ahli Madya untuk Program Diploma III disingkat A.Md.
4. Ahli untuk Program Diploma IV disingkat A.

(2) Sebutan profesional lulusan Program Spesialis terdiri atas Spesialis
disingkat Sp untuk lulusan Program Spesialis I dan Spesialis Utama
disingkat Sp.U untuk lulusan Program Spesialis II.

(3) Singkatan sebutan profesional dan nama bidang keahlian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditempatkan di belakang nama yang
berhak atas sebutan tersebut.

(4) Bidang keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah sama
dengan nama program studi yang telah ditetapkan berdasarkan surat
keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

BAB V

JENIS SEBUTAN PROFESI

Pasal 13

(1) Seorang Sarjana yang telah menyelesaikan program pendidikan keahlian
untuk profesi tertentu,berhak menggunakan sebutan profesi.

(2) Jenis sebutan profesi adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran
III.

(3) Jenis sebutan profesi dan bidang keahlian yang belum tercantum pada
lampiran III akan diterapkan oleh Direktur Jenderal dengan memper-
hatikan usul dan pertimbangan prganisasi profesi yang diakui
Pemerintah.

(4) Penggunaan sebutan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) ditempatkan setelah gelar akademik Sarjana.



BAB VI

SYARAT PEMBERIAN GELAR
AKADEMIK DAN SEBUTAN PROFESIONAL

Bagian Pertama

Syarat Pemberian Gelar Akademik
dan Sebutan Profesional

Pasal 14

Syarat pemberian gelar akademik, sebutan profesional dan sebutan profesi
adalah :
1. Telah menyelesaikan semua kewajiban dan/atau tugas yang dibebankan
dalam mengikuti suatu program studi baik untuk pendidikan akademik
maupun pendidikan profesional sesuai dengan ketentuan yang ber-
laku;

2. Telah menyelesaikan kewajiban administrasi dan keuangan berkenaan
dengan program studi yang diikuti sesuai ketentuan yang berlaku;

3. Telah dinyatakan lulus dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan akademik dan/atau profesional.

BAB VII

GELAR DOKTOR KEHORMATAN

Pasal 15

Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dapat diberikan kepada
seseorang yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan,teknologi,
kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan.

Pasal 16

(1) Syarat bagi calon penerima gelar Doktor Kehormatan adalah:

1. Memiliki gelar akademik sekurang-kurangnya Sarjana.
2. Berjasa luar biasa dalam pengembangan suatu disiplin ilmu penge-
tahuan,teknologi,kebudayaan,kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan.

(2) Syarat perguruan tinggi yang dapat memberikan gelar Doktor
Kehormatan adalah universitas dan institut yang memiliki wewenang
menyelenggarakan Program Pendidikan Doktor berdasarkan surat
Keputusan Menteri.

Pasal 17

(1) Pemberian gelar Doktor Kehormatan dapat diusulkan oleh senat
fakultas dan dikukuhkan oleh senat universitas/institut yang
memiliki wewenang.

(2) Usul pemberian gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat(1) diajukan oleh Rektor kepada Menteri dengan disertai pertim-
bangan lengkap atas karya atau jasa yang bersangkutan,untuk memper-
oleh persetujuan Menteri.

(3) Usul dan pertimbangan pemberian gelar Doktor Kehormatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) bersifat rahasia.

Pasal 18

(1) Pemberian gelar Doktor Kehormatan hanya dapat dilakukan apabila men-
dapat persetujuan Menteri.

(2) Pemberian gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan tatacara yang berlaku di Universitas/
institut yang bersangkutan.

Pasal 19

Gelar Doktor Kehormatan, disingkat Dr (H.C) ditempatkan didepan nama
penerima hak atas gelar tersebut.


BAB VIII

KETENTUAN LAIN

Pasal 20

Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dibenarkan memberikan
gelar akademik, sebutan profesional, sebutan profesi dan/atau gelar
doktor kehormatan.

Pasal 21

(1) Gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diperoleh secara
tidak sah tidak dapat dicabut atau ditiadakan oleh siapapun.

(2) Keabsahan perolehan gelar akademik dan/atau sebutan profesional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali karena
alasan akademik.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
oleh Direktur Jenderal.

Pasal 22

Penggunaan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang tidak sesuai
dengan Keputusan ini dikenakan ancaman pidana seperti dimaksud dalam
Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Pasal 23

(1) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan
tinggi di luar negeri digunakan sesuai pola dan cara pemakaian yang
berlaku di negara yang bersangkutan dan tidak dibenarkan untuk di-
sesuaikan dan/atau diterjemahkan menjadi gelar akademik dan/atau
sebutan profesional sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.

(2) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan
tinggi di luar negeri perlu pengesahan dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

(3) Gelar akademik dan sebutan profesional lulusan perguruan tinggi di
Indonesia tidak dibenarkan untuk disesuaikan dan/atau diterjemahkan
menjadi gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diberikan
oleh perguruan tinggi di luar negeri.

Pasal 24

Gelar akademik dan sebutan profesional yang dapat diberikan oleh pergu-
ruan tinggi di lingkungan Departemen Pertahanan dan Keamanan ditetapkan
dalam ketentuan tersendiri.


BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25

(1) Gelar akademik dan sebutan profesional seperti diatur dalam Keputus-
an ini berlaku sejak ditetapkan.

(2) Gelar akademik yang diberikan oleh perguruan tinggi di dalam negeri
sebelum Keputusan ini berlaku dapat tetap dipakai sebagaimana adanya.

Pasal 26
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 9 Februari 1993

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

ttd.


Fuad Hasan



Salinan keputusan ini disampaikan kepada :

1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
3. Semua Direktur Jenderal dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan,
4. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
5. Semua Sekretaris Direktorat Jenderal, Inspektorat Jenderal dan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.
6. Semua Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di
Propinsi,
7. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
8. Semua Rektor Universitas, Institut, Ketua Sekolah Tinggi, Direktur
Akademi dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
9. Semua Kepala Biro, Inspektur, Direktur dan Kepala Pusat di ling-
kungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
10. Semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di Propinsi,
11. Komisi IX DPR-RI.


Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan


Mardiah
NIP : 130 344 753



LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
NOMOR 036/U/1993 TANGGAL 9 FEBRUARI 1993

JENIS GELAR AKADEMIK SARJANA
---------------------------------------------------------------------
No. Kelompok Program Studi Gelar Akademik Singkatan
Urut
---------------------------------------------------------------------
1. Sastra Sarjana Sastra S.S.
2. Hukum Sarjana Hukum S.H.
3. Ekonomi Sarjana Ekonomi S.E.
4. Ilmu Politik Sarjana Ilmu Politik S.IP
5. Ilmu Sosial Sarjana Ilmu Sosial S.Sos
6. Psikologi Sarjana Psikologi S.Psi
7. Kedokteran Sarjana Kedokteran S.Ked
8. Kesehatan Masyarakat Sarjana Kesehatan Masya- S.KM
rakat
9. Kedokteran Gigi Sarjana Kedokteran Gigi S.KG
10. Pertanian Sarjana Pertanian S.P
11. Teknologi Pertanian Sarjana Teknologi Perta- S.TP
nian
12. Peternakan Sarjana Peternakan S.Pt
13. Perikanan Sarjana Perikanan S.Pi
14. Kehutanan Sarjana Kehutanan S.Hut
15. Kedokteran Hewan Sarjana Kedokteran Hewan S.KH
16. Matematikan dan Ilmu Sarjana Sains S.Si
Pengetahuan Alam
17. Teknik Sarjana Teknik S.T
18. Komputer dan Informatika Sarjana Komputer S.Kom
19. Seni Sarjana Seni S.Sn
20. Pendidikan Sarjana Pendidikan S.Pd
21. Agama Sarjana Agama S.Ag


Daftar jenis gelar akademik Sarjana ini merupakan bagian yang tidak ter-
pisahkan dengan Pasal 7 ayat (3) Keputusan ini.


MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

ttd

Fuad Hassan



Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan


Mardiah
NIP : 130 344 753



LAMPIRAN II KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
NOMOR 036/U/1993 TANGGAL 9 FEBRUARI 1993


JENIS GELAR AKADEMIK MAGISTER
-----------------------------------------------------------------------
N0. Kelompok Program Studi Gelar Akademik Singkatan
Urut
-----------------------------------------------------------------------
1. Sastra Magister Humaniora M.Hum
2. Hukum Magister Humaniora M.Hum
3. Kajian Wanita Magister Humaniora M.Hum
4. Ekonomi Manajemen Magister Manajemen M.M.
5. Ekonomi lainnya Magister Sains M.Si
6. Ilmu Sosial dan Politik Magister Sains M.Si
7. Studi Wilayah Magister Sains M.Si
8. Ilmu Lingkungan Magister Sains M.Si
9. Ilmu Perpustakaan Magister Sains M.Si
10. Pengkajian Ketahanan Nasional Magister Sains M.Si
11. Sosiologi Magister Sains M.Si
12. Psikologi Magister Sains M.Si
13. Matematika dan Ilmu Penge- Magister Sains M.Si
tahuan alam
14. Kesehatan Magister Kesehatan M.Kes
15. Kesehatan Masyarakat Magister Kesehatan M.Kes
16. Kedokteran Gigi Magister Kesehatan M.Kes
17. Pertanian Magister Pertanian M.P
18. Kedokteran Hewan Magister Pertanian M.P
19. Ilmu Ternak Magister Pertanian M.P
20. Penyuluhan Pembangunan Magister Pertanian M.P
21. Teknologi Pertanian Magister Pertanian M.P
22. Kehutanan Magister Pertanian M.P
23. Perikanan Magister Pertanian M.P
24. Teknik Magister Teknik M.T
25. Ilmu Komputer dan Informatika Magister Komputer M.Kom
26. Seni Magister Seni M.Sn
27. Pendidikan Magister Pendidikan M.Pd
28. Agama Magister Agama M.Ag

Daftar jenis gelar akademik Magister ini merupakan bagian yang tidak
pisahkan dengan Pasal 7 ayat (3) Keputusan ini.


MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

ttd.

Fuad Hasan



Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangnan,


Mardiah
NIP : 130 344 753


LAMPIRAN III KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
NOMOR 036/U/1993 TANGGAL 9 FEBRUARI 1993


JENIS SEBUTAN PROFESI
--------------------------------------------------------------
NO BIDANG KEAHLIAN SEBUTAN PROFESI
--------------------------------------------------------------
1. Kedokteran Dokter
2. Farmasi Apoteker
3. Ekonomi Akuntan
4. Kedokteran Hewan Dokter Hewan
5. Kedokteran Gigi Dokter Gigi
6. Psikologi Psikologi
7. Hukum Notaris, Pengacara
8. Arsitektur Arsitek


Daftar Jenis Sebutan Profesi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan Pasal 13 ayat (3) Keputusan ini.


MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

ttd.

Fuad Hasan


Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangnan,


Mardiah
NIP : 130 344 753





lampiran 1 2a 2b 2c 2d 2e 3 4a 4b

KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

Nomor : 36/D/O/2001
Tentang

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
PENILAIAN ANGKA KREDIT JABATAN DOSEN


MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

Menimbang : Dalam rangka memperoleh keseragaman pengertian,
memudahkan pemahaman dan untuk kelancaran
pelaksanaan Keputusan Menkowasbangpan Nomor
38/Kep/MK.WASPAN/8/1999 tanggal 24 Agustus 1999,
maka perlu dikeluarkan petunjuk teknis pelaksanaan
penilaian angka kredit jabatan dosen.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-undang
Nomor 43 Tahun 1999;

2. Peraturan Pemerintah :
a. Nomor 60 Tahun 1999;
b. Nomor 98 Tahun 2000;
c. Nomor 99 Tahun 2000;

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia :
a. Nomor 85/M/Tahun 1999
b. Nomor 234/M/Tahun 2000
c. Nomor 9 Tahun 2001

4. Keputusan Menkowasbangpan Nomor 38/Kep/MK.WASPAN
/8/1999 tanggal 24 Agustus 1999

5. Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudaya
an dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor
61409/MPK/KP/99 dan Nomor 181 Tahun 1999 tanggal
13 Oktober 1999.

6. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
074/U/2000 tanggal 4 Mei 2000.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan
Dosen.

Pasal 1

(1) Nama dan jenjang jabatan/pangkat dosen :

a. Asisten Ahli, yang meliputi pangkat Penata Muda (Gol.III/a),
dan Penata Muda Tk. I (Gol. III/b).

b. Lektor, yang meliputi pangkat Penata (Gol. III/c) dan Penata
Tk. I (Gol.III/d).

c. Lektor Kepala, yang meliputi pangkat Pembina (Gol.IV/a),
Pembina Tk.I (Gol.IV/b) dan Pembina Utama Muda (Gol.IV/c).

d. Guru Besar, yang meliputi pangkat Pembina Utama Madya (Gol.
IV/d) dan Pembina Utama (Gol. IV/e).

(2) Batas jenjang jabatan dan pangkat dosen yang ditugaskan pada
jenis/program pendidikan profesional adalah Lektor Kepala,
Pembina Utama Muda (Gol. IV/c).

(3) Untuk dapat diangkat pada masing-masing jabatan dan pangkat
tersebut di atas, harus memenuhi jumlah angka kredit sebagaimana
tersebut dalam Lampiran III Keputusan Menteri Negara Koordinator
Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No. 38/
Kep/MK.WASPAN/8/1999 tanggal 24 Agustus 1999 yaitu :

a. Asisten Ahli : - Penata Muda (Gol.III/a) = 100
- Penata Muda Tk.I (Gol.III/b) = 150

b. Lektor : - Penata (Gol.III/c) = 200
- Penata Tk.I (Gol.III/d) = 300

c. Lektor Kepala : - Pembina (Gol.IV/a) = 400
- Pembina Tk.I (Gol.IV/b) = 550
- Pembina Utama Muda (Gol.IV/c) = 700

d. Guru Besar : - Pembina Utama Madya (Gol.IV/d) = 850
- Pembina Utama (Gol.IV/e) = 1050

(4) Kenaikan jabatan dosen dilakukan sekurang-kurangnya setelah 1
tahun dalam jabatan dan kenaikan pangkat dilakukan sekurang-
kurangnya setelah 2 tahun dalam pangkat yang sedang dimiliki.

(5) Bagi dosen yang telah memperoleh kenaikan jabatan setingkat
lebih tinggi, namun pangkatnya masih dalam lingkup jabatan
sebelumnya, maka untuk kenaikan pangkat berikutnya tidak lagi
disyaratkan angka kredit sampai pada pangkat maksimum dalam
linkup jabatan tersebut apabila jumlah angka kredit yang telah
ditetapkan memenuhi.

(6) Bagi dosen yang telah memperoleh kenaikan jabatan 2 (dua) tingkat
lebih tinggi melalui loncat jabatan, maka kenaikan pangkat beri-
kutnya sampai pada pangkat maksimum dalam lingkup jabatan seting-
kat lebih tinggi dari jabatan semula tidak lagi disyaratkan angka
kredit, sedangkan untuk kenaikan pangkat sampai pada pangkat
maksimum dalam lingkup jabatan yang diperoleh melalui loncat
jabatan sesuai dengan jumlah angka kredit yang telah ditetapkan,
diharuskan mengumpulkan angka kredit sebanyak 30% dari angka
kredit yang disyaratkan untuk setiap kali kenaikan pangkat terse-
but.

(7) Bagi dosen yang menggunakan angka kredit untuk kenaikan pangkat-
nya terlebih dahulu karena terlambat mengumpulkan angka kredit
untuk kenaikan jabatan maka angka kredit tersebut dapat digunakan
untuk kenaikan jabatan berikutnya.

(8) Seorang dosen PNS tidak mempunyai pangkat lebih tinggi dari jaba-
tan fungsional dosen, kecuali bagi mereka yang diangkat ke dalam
jabatan fungsional dosen dalam rangka alih status menjadi dosen
atau bagi mereka yang memperoleh kenaikan pangkat melalui jalur
struktural.

(9) Pengangkatan dosen ke dalam jabatan awal Asisten Ahli, baru dapat
dipertimbangkan apabila telah memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Sekurang-kurangnya telah 1 (satu) tahun melaksanakan tugas
utama (tugas mengajar) sebagai dosen atau calon PNS dosen.

b. Memiliki ijazah S1/DIV atau S2/Sp.I sesuai dengan penugasan.

c. Telah memenuhi sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) angka kredit di
luar angka kredit ijazah yang dihitung sejak yang bersangkutan
melaksanakan tugas mengajar sebagai calon PNS dosen. Bagi
dosen Non PNS/dosen swasta/dosen luar biasa disyaratkan telah
memiliki 25 angka kredit bagi yang berpendidikan S1/DIV dan
10 angka kredit bagi yang berpendidikan S2/Sp.I. Khusus untuk
karya penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan penunjang
tridharma perguruan tinggi yang dilaksanakan/diperoleh sebelum
bertugas sebagai dosen, dapat dihitung angka kreditnya.

d. Memiliki kinerja, integritas, tanggung jawab pelaksanaan tugas
dan tata krama dalam kehidupan kampus yang dibuktikan dengan
Berita Acara Rapat Pertimbangan Senat Fakultas bagi Universitas
/Institut atau Senat Perguruan Tinggi bagi Sekolah Tinggi/
Politeknik dan Akademi.

e. Syarat-syarat administratif lainnya.

(10) Pengangkatan dosen ke dalam jabatan awal Lektor, baru dapat
dipertimbangka apabila telah memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Sekurang-kurangnya telah 1 (satu) tahun melaksanakan tugas
utama (tugas mengajar) sebagai dosen atau sebagai calon PNS
dosen.

b. Memiliki ijazah S3/Sp.II sesuai dengan penugasan.

c. Telah memenuhi sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) angka kredit
di luar angka kredit ijazah yang dihitung sejak yang bersang-
kutan melaksanakan tugas mengajar sebagai calon PNS dosen.
Bagi dosen Non PNS/dosen swasta/dosen luar biasa disyaratkan
telah memiliki 25 angka kredit. Khusus untuk karya penelitian,
pengabdian kepada Masyarakat dan penunjang tridharma perguruan
tinggi yang dilaksanakan/diperoleh sebelum bertugas sebagai
dosen, dapat dihitung angka kreditnya.

d. Memiliki kinerja, integritas, tanggung jawab dalam pelaksanaan
tugas dan tata krama dalam kehidupan kampus yang dibuktikan
dengan Berita Acara Rapat Pertimbangan Senat Fakultas bagi
Universitas/Institut/atau Senat perguruan tinggi bagi Sekolah
Tinggi/Politeknik dan Akademi.

e. Syarat-syarat administratif lainnya.

(11) Dosen yang tidak berkedudukan sebagai pegawai negeri sipil yang
telah atau pernah memiliki jabatan fungsional dosen, maka jabatan
tersebut tetap diakui apabila telah menjadi pegawai negeri sipil
dengan tugas sebagai dosen. Pengakuan tersebut hanya pada
jabatan fungsional, sedangkan pangkatnya sama dengan yang di-
miliki sebagai pegawai negeri sipil.

(12) Pemberian jabatan dosen sebagaimana tersebut pada ayat (11),
pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit dan pengangkatan
ke dalam jabatan dosen membuat kembali penetapan angka kredit dan
surat keputusan jabatan dosen pengawai negeri sipil ybs pada
perguruan tinggi di mana yang bersangkutan ditempatkan, didasar-
kan pada penetapan angka kredit dan surat keputusan pengangkatan
ke dalam jabatan yang telah dimiliki ybs setelah diteliti secara
cermat keabsahannya.

(13) Kenaikan jabatan dosen secara reguler (setingkat lebih tinggi),
baru dapat dipertimbangkan, apabila telah memenuhi syarat sebagai
berikut :

a. Sekurang-kurangnya telah 1 (satu) tahun menduduki jabatan ter-
akhir yang dimiliki.

b. Telah memenuhi angka kredit yang disyaratkan.

c. Memiliki publikasi ilmiah dalam jurnal ilmiah nasional yang
terakreditasi sebagai penulis utama yang jumlahnya mencukupi
25% dari persyaratan angka kredit minimum untuk kegiatan
penelitian bagi kenaikan jabatan dalam kurun waktu 1 sampai
dengan 3 (tiga) tahun.

d. Memiliki kinerja, integritas, tanggung jawab dalam pelaksanaan
tugas dan tata krama dalam kehidupan kampus berdasarkan
penilaian senat yang dibuktikan dengan berita acara rapat
pemberian pertimbangan senat fakultas bagi universitas/
institut atau senat perguruan tinggi bagi sekolah tinggi/
politeknik dan akademi untuk pengangkatan/kenaikan jabatan
Asisten Ahli dan Lektor serta berita acara pemberian pertim-
bangan senat perguruan tinggi untuk pengangkatan/kenaikan
jabatan ke Lektor Kepala dan berita acara pemberian persetuju
an senat perguruan tinggi bagi pengangkatan/kenaikan jabatan
ke Guru Besar.

e. Khusus bagi kenaikan jabatan ke Guru Besar harus pula memenuhi
syarat tambahan yaitu mempunyai kemampuan akademik membimbing
Calon Doktor yang dapat dibuktikan dengan memenuhi salah satu
syarat sebagai berikut ;

1). Memiliki pendidikan Doktor (S3) atau Spesialis II (Sp.II)
dalam bidang yang sesuai dengan penugasan.

2). Mempunyai karya ilmiah di bidang ilmu yang ditugaskan
sebagai penulis utama yang diterbitkan dalam jurnal, se-
kurang-kurangnya 1 (satu) pada tingkat internasional yang
memiliki reputasi ditambah 2 (dua) pada tingkat nasional
yang terakreditasi.

3). Mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) karya monumental yang
mendapat pengakuan kedua-duanya nasional dan Internasional.

f. Syarat-syarat akademik lainnya yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi atas nama Menteri Pendidikan
Nasional sejalan dengan tuntutan perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian dalam kerangka peningkatan
kualitas dosen.

h. Syarat-syarat administratif lainnya.

(14) Bagi dosen yang potensial/berprestasi tinggi dapat dinaikan
langsung ke jenjang jabatan yang lebih tinggi (loncat jabatan)
maksimal menjadi Lektor Kepala dan pangkatnya dinaikan setingkat
lebih tinggi sesuai ketentuan apabila memenuhi syarat sebagai
berikut :

a. Sekurang-kurangnya telah menduduki jabatan Asisten Ahli selama
1 (satu) tahun.

b. Memiliki ijazah Doktor (S3) atau Spesialis II (Sp.II) pada
saat masih menduduki jabatan Asisten Ahli.

c. Memiliki 4 (empat) publikasi ilmiah dalam jurnal ilmiah yang
terakreditasi sebagai penulis utama.

d. Telah memenuhi jumlah angka kredit yang disyaratkan.

e. Memiliki kinerja, integritas, tanggung jawab dalam pelaksanaan
tugas dan tata krama dalam kehidupan kampus yang dibuktikan
dengan berita acara rapat pemberian pertimbangan senat pergu-
ruan tinggi.

f. Syarat-syarat akademik lain yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi atas nama Menteri Pendidikan
Nasional sejalan dengan tuntutan perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian dalam rangka peningkatan
kualitas dosen.

g. Syarat-syarat administratif lainnya.

(15) Bagi dosen yang potensial/berprestasi tinggi dapat dinaikan
langsung ke jenjang jabatan yang lebih tinggi (loncat jabatan)
menjadi Guru Brsar dan pangkatnya dinaikan setingkat lebih
tinggi sesuai ketentuan apabila memenuhi syarat sebagai
berikut :

a. Sekurang-kurangnya telah menduduki jabatan Lektor selama 1
(satu) tahun.

b. Memiliki ijazah Doktor (S3) atau Spesialis II (Sp.II)

c. Memiliki 4 (empat) publikasi ilmiah dalam jurnal ilmiah yang
terakreditasi sebagai penulis utama.

d. Telah memenuhi jumlah angka kredit yang disyaratkan.

e. Memiliki kinerja, integritas, tanggung jawab dalam pelaksanaan
tugas dan tata krama dalam kehidupan kampus yang dibuktikan
dengan berita acara rapat pemberian pertimbangan senat pergu-
ruan tinggi.

f. Syarat-syarat akademik lain yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi atas nama Menteri Pendidikan
Nasional sejalan dengan tuntutan perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian dalam rangka peningkatan
kualitas dosen.

g. Syarat-syarat administratif lainnya.

Pasal 2

(1) Untuk pengangkatan ke dalam jabatan dosen dalam rangka penyesuaian
jabatan bagi dosen yang sudah lama bertugas pada suatu perguruan
tinggi tetapi belum mempunyai jabatan dosen karena sesuatu hal,
baik dosen negeri maupun dosen swasta, baik dosen biasa maupun
dosen luar biasa, ia dapat menyesuaikan jabatannya sebagai dosen
dengan menggunakan angka kredit kumulatif dengan beberapa keten-
tuan sebagai berikut :

a. Telah memenuhi angka kredit kumulatif yang disyaratkan. Khusus
untuk karya penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan penun-
jang tridharma perguruan tinggi yang dilaksanakan/diperoleh
sebelum bertugas sebagai dosen, dapat dihitung angka kreditnya.

b. Telah bertugas sebagai dosen minimal 7 (tujuh) tahun bagi yang
berpendidikan Doktor/Sp.II

c. Telah bertugas sebagai dosen sebelum 1 April 1988 bagi yang
berpendidikan S1/D IV atau S2/Sp.I.

d. Jenjang jabatan yang diberikan setinggi-tingginya Lektor Kepala
sesuai dengan jumlah angka kredit kumulatif yang ditetapkan.

e. Memiliki kinerja, integritas, tanggung jawab dalam pelaksanaan
tugas dan tata krama dalam kehidupan kampus yang dibuktikan
dengan berita acara rapat pemberian pertimbangan senat fakultas
bagi Universitas/institut atau senat perguruan tinggi bagi
sekolah tinggi/politeknik dan akademi untuk penyesuaian ke
jabatan Asisten Ahli dan Lektor dan Senat perguruan tinggi bagi
penyesuaian ke jabatan Lektor Kepala.

f. Syarat-syarat administratif lainnya.

g. Apabila terdapat hal-hal yang luar biasa pada seorang dosen
yang berpendidikan Doktor/Sp.II, maka penyesuaian jabatan bagi
dosen yang bersangkutan dapat ditetapkan dengan menyimpang dari
ketentuan pada huruf b di atas, setelah melalui suatu penilaian
yang cermat dari Tim Penilai. Yang dimaksud dengan hal-hal
yang luar biasa adalah hal-hal yang berkenaan dengan karya
penelitian maupun pengabdian ybs yang setelah dinilai oleh tim
penilai mempunyai kelebihan yang luar biasa. Dalam hal seperti
ini, maka penyesuaian jabatan ybs dapat ditetapkan sesuai
dengan jumlah angka kredit kumulatif yang diperoleh walaupun
baru bertugas sebagai dosen kurang dari 7 (tujuh) tahun dan
lebih dari 3 (tiga) tahun.

(2) Dosen yang sedang dalam tugas belajar dapat diproses kenaikan
jabatan/pangkatnya apabila angka kredit yang disyaratkan telah
terpenuhi sebelum ybs mengikuti tugas belajar walaupun masa kerja
dalam jabatan/pangkat terakhir baru terpenuhi pada saat ybs sedang
dalam tugas belajar. Untuk hal ini maka penetapan angka kredit
dan surat keputusan pengangkatan ke dalam jabatan fungsional/
pangkat dosen tetap dibuat berlaku terhitung mulai tanggal sesuai
dengan syarat masa dalam jabatan untuk kenaikan jabatan dan
syarat masa dalam pangkat untuk kenaikan pangkat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
Khusus untuk kenaikan pangkatnya dapat diberlakukan kenaikan
pangkat sedang dalam tugas belajar sesuai dengan ketentuan dalam
pasal 19 PP No.99 Tahun 2000 apabila tidak dapat menggunakan
kenaikan pangkat pilihan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 9 PP
No.99 Tahun 2000 karena tidak memenuhi syarat angka kredit sebelum
ybs mengikuti tugas belajar.

(3) Dosen pada jenis/program pendidikan akademik yang menduduki
jabatan Asisten Ahli /Penata Muda (Gol.III/a) sampai Lektor Kepala
(Gol.IV/c), dapat pindah ke jenis/program pendidikan profesional,
apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Sejak pengangkatan pertama dan setiap kali kenaikan ke jabatan
/pangkat berikutnya sampai pada jabatan/pangkat terakhir yang
dimilikinya sebagai dosen pada jenis/program pendidikan
akademik selalu memenuhi angka kredit memperoleh dan melaksana-
kan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya 40% dari
jumlah angka kredit yang disyaratkan. Bagi dosen yang sejak
awal sampai menduduki jabatan terakhir belum memenuhi angka
kredit kegiatan memperoleh dan melaksanakan pendidikan dan
pengajaran sebagaimana disyaratkan tersebut, maka dapat di-
penuhi secara kumulatif pada saat diusulkan pindah ke program
pendidikan profesional.

b. Memperoleh pertimbangan senat perguruan tinggi penyelenggara
jenis/program pendidikan profesional.

c. Syarat-syarat administratif lainnya.

(4) Dosen pada jenis/program pendidikan profesional yang menduduki
jabatan Asisten Ahli, Penata Muda (Gol.III/a) sampai Lektor Kepala
(Gol.IV/c), dapat pindah ke jenis/program pendidikan akademik,
apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Sejak pengangkatan pertama dan setiap kali kenaikan ke jabatan
/pangkat berikutnya sampai pada jabatan/pangkat terakhir yang
dimilikinya sebagai dosen pada jenis/program pendidikan
profesional selalu memenuhi angka kredit melaksanakan
penelitian sekurang-kurangnya 25% dari jumlah angka kredit yang
diperlukan. Bagi dosen yang sejak awal sampai menduduki jabatan
terakhir belum memenuhi angka kredit kegiatan penelitian sebagai
mana disyaratkan tersebut, maka dapat dipenuhi secara kumulatif
pada saat diusulkan pindah ke program pendidikan akademik.

b. Mempunyai publikasi ilmiah dalam jurnal ilmiah terakreditasi
sebagai penulis utama yang jumlahnya mencukupi 25% dari persya-
ratan angka kredit minimum kegiatan penelitian pada setiap kali
kenaikan jabatan dalam kurun waktu 1-3 tahun sampai jabatan
terakhir sebagaimana disyaratkan untuk setiap kali kenaikan
jabatan dalam kurun waktu 1-3 tahun bagi dosen pada jenis/
program pendidikan akademik. Bagi dosen yang sejak awal sampai
menduduki jabatan terakhir belum memenuhi angka kredit jurnal
ilmiah tersebut, maka dapat dipenuhi secara kumulatif
pada saat diusulkan pindah ke program pendidikan akademik.

c. Memperoleh pertimbangan senat perguruan tinggi penyelenggara
jenis/program pendidikan profesional.

d. Syarat-syarat administratif lainnya.

(5) Bagi dosen yang ditugaskan pada jenis/program pendidikan profesio-
nal, dan mempunyai jabatan Lektor Kepala dapat mempunyai kesempatan
untuk naik ke jabatan Guru Besar, apabila memenuhi syarat sebagai
berikut :

a. Mempunyai kemampuan membimbing calon doktor yang dapat dibukti-
kan dengan memenuhi salah satu syarat sebagaimana tersebut pada
pasal 1 ayat (13) huruf e.

b. Sekurang-kurangnya telah 1 (satu) tahun melaksanakan tugas
sebagai dosen luar biasa pada jenis/program pendidikan akademik.

c. Sejak pengangkatan pertama dan setiap kali kenaikan ke jabatan/
pangkat berikutnya sampai Lektor Kepala dalam pangkat Pembina
Utama Muda (Gol.IV/c) sebagai dosen pada jenis/program pendidi-
kan profesional selalu memenuhi angka kredit melaksanakan
penelitian sekurang-kurangnya 25% dari persyaratan angka kredit
yang diperlukan. Bagi dosen yang sejak awal sampai menduduki
jabatan terakhir tersebut, belum memenuhi angka kredit
penelitian sebagaimana disyaratkan, maka dapat dipenuhi secara
kumulatif pada saat diusulkan menjadi Guru Besar oleh perguruan
tinggi penyelenggara pendidikan akademik.

d. Mempunyai publikasi ilmiah dalam jurnal ilmiah terakreditasi
sebagai penulis utama yang jumlahnya mencukupi 25% dari persya-
ratan angka kredit minimum kegiatan penelitian pada angka kredit
kumulatif minimum setiap jabatan yang disyaratkan untuk setiap
kali kenaikan jabatan dalam kurun waktu 1-3 tahun bagi dosen
pada jenis/program pendidikan akademik.

e. Memperoleh persetujuan tertulis dari senat perguruan tinggi
penyelenggara jenis/program pendidikan akademik.

f. Diusulkan oleh perguruan tinggi penyelenggara jenis/program
pendidikan akademik tersebut dalam status sebagai dosen luar
biasa pada perguruan tinggi dimaksud. Apabila ybs ingin diusul-
kan dalam status sebagai dosen tetap pada perguruan tinggi
penyelenggara pendidikan akademik, maka harus terlebih dahulu
diproses perpindahannya sebagai dosen tetap pada perguruan
tinggi dimaksud sebelum diusulkan menjadi Guru Besar.

g. Telah memenuhi jumlah angka kredit yang disyaratkan.

h. Syarat-syarat administratif lainnya.

(6) Bagi pegawai negeri sipil non dosen yang ingin pindah menjadi
pegawai negeri sipil dosen, apabila telah memenuhi syarat sebagai
berikut :

a. Sekurang-kurangnya berpendidikan Pasca Sarjana (S2) atau
Spesialis I (Sp.I) dalam bidangnya yang ditetapkan oleh Tim Ahli
Khusus bagi yang pindah menjadi dosen profesional (DIII atau
lebih rendah) sekurang-kurangnya berpendidikan Sarjana (S1) atau
DIV.

b. Memiliki IPK sekurang-kurangnya 3,00.

c. Telah memiliki sekurang-kurangnya jabatan Lektor atau setelah
dinilai oleh pejabat yang berwenang ybs memiliki jemlah angka
kredit untuk jabatan sekurang-kurangnya Lektor.

d. Rasio dosen mahasiswa pada program studi penerima atau rasio
dosen mahasiswa yang dilayani pada perguruan tinggi penerima
masih memungkinkan (bidang ilmu yang dituntut pelayanan di luar
program studi ybs).

e. Mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.

f. Syarat-syarat administratif lainnya.

(7) Bagi PNS non dosen yang pindah/alih status menjadi dosen sebelum
berlakunya Keputusan Menkowasbangpan No.38/Kep/MK.WASPAN/8/1999
tanggal 24 Agustus 1999 (berlaku tanggal 1 Januari 2001), maka
penyesuaian jabatan dapat langsung dilakukan apabila telah pernah
bertugas sebagai dosen sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebelum
atau sesudah pindah/alih status.

Pasal 3

(1) Jumlah angka kredit untuk masing-masing jenjang jabatan yang
tersebut pada Pasal 1 ayat (3), adalah angka kredit kumulatif yang
dipergunakan untuk pengangkatan pertama atau penyesuaian jabatan,
sedangkan untuk kenaikan jabatan dipergunakan angka kredit selisih
antara jabatan lama dan jabatan baru dengan memperhatikan kelebihan
angka kredit.

(2) Kelebihan angka kredit yang diperoleh pada kenaikan jabatan/pangkat
terakhir, dipergunakan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya
dengan ketentuan 100% untuk memperoleh dan melaksanakan pendidikan
dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan
sebanyak-banyaknya 80% (delapan puluh persen) persyaratan unsur
utama dan 0% unsur penunjang untuk kenaikan jabatan berikutnya.

(3) Untuk menghitung kelebihan angka kredit pada kegiatan memperoleh
dan melaksanakan pendidikan dan pengajaran, dan kegiatan melaksana-
kan penelitian dilakukan dengan rumus : Selisih antara angka kredit
minimum dengan perolehan angka kredit baru pada masing-masing
kegiatan dibagi jumlah dari selisih kedua kegiatan tersebut, kali
kelebihan angka kredit di luar angka kredit kegiatan melaksanakan
pengabdian kepada masyarakat. Sementara untuk menentukan kelebihan
angka kredit pada kegiatan melaksanakan pengabdian kepada
masyarakat dilakukan dengan cara : jumlah perolehan angka kredit
dikurangi jumlah angka kredit maksimum pada kegiatan tersebut
sebagaimana contoh penetapan angka kredit pada Lampiran I.

(4) Jumlah angka kredit yang memenuhi persyaratan untuk pengangkatan
ke dalam jabatan Asisten Ahli bagi dosen PNS berpendidikan S1/DIV
yang kurang dari jumlah angka kredit kumulatif yang ditetapkan
untuk jabatan tersebut, untuk penetapan angka kreditnya dihitung
sama jumlahnya dengan penetapan angka kredit kumulatif untuk
jabatan tersebut dengan cara menambah 15 (lima belas) angka kredit
pada kegiatan memperoleh dan melaksanakan pendidikan dan pengajaran
sebagai kompensasi dari Diklat Prajabatan CPNS dosen ybs.

(5) Jumlah angka kredit yang memenuhi persyaratan untuk pengangkatan ke
dalam jabatan Lektor bagi dosen PNS berpendidikan S3/Sp.II yang
kurang dari jumlah angka kredit kumulatif yang ditetapkan untuk
jabatan tersebut, untuk penetapan angka kreditnya dihitung sama
jumlahnya dengan angka kredit kumulatif untuk jabatan tersebut
dengan cara menambah 25 (dua puluh lima) angka kredit pada kegiatan
memperoleh dan melaksanakan pendidikan dan pengajaran sebagai
kompensasi dari Diklat Prajabatan CPNS dosen ybs.

(6) 10 (sepuluh) angka kredit yang disyaratkan pada pengangkatan
jabatan awal bagi dosen PNS yang berpendidikan S2/Sp.I tidak dapat
dihitung sebagai kelebihan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya
Berkenaan dengan itu, maka pada saat penetapan angka kredit untuk
kenaikan jabatan berikutnya, jumlah angka kredit pada kolom angka
kredit lama tetap dibuat 100 (seratus) dengan cara mengurani 10
(sepuluh) angka kredit yang terdiri dari unsur penunjang tridharma
perguruan tinggi, pengabdian kepada masyarakat serta memperoleh dan
melaksanakan pendidikan dan pengajaran.

Pasal 4

(1) Ijazah yang digunakan untuk pengangkatan pertama/penyesuaian jabatan
ke dalam jabatan fungsional dosen, angka kreditnya adalah :

- Doktor (S3)/Spesialis II (Sp.II) = 150
- Magister (S2)/Spesialis I (Sp.I) = 100
- Sarjana (S1)/Diploma IV (D IV) = 75

(2) Bagi dosen yang telah menggunakan suatu tingkat ijazah tertentu
untuk pengangkatan ke dalam jabatan fungsional dosen, kemudian
melanjutkan pendidikan dan memperoleh ijazah yang lebih tinggi
dalam bidang ilmu yang sama atau berhubungan/berdekatan, maka angka
kredit yang dapat digunakan dari ijazah tersebut adalah angka kredit
hasil pengurangan dari angka kredit ijazah yang telah digunakan.
Khusus angka kredit ijazah di luar bidang ilmu dihitung berdasarkan
angka kredit tingkat ijazah masing-masing tanpa mengurangi angka
kredit ijazah yang telah atau akan digunakan.

(3) Pendidikan pelatihan fungsional dosen adalah kegiatan yang diseleng-
garakan dalam rangka peningkatan kemampuan dosen baik dari segi
materi pengajaran maupun kemampuan didaktik metodik. Termasuk ke
dalam diklat ini adalah Program Pengembangan Ketrampilan Teknik
Instruksional (PEKERTI) dan Applied Approach (AA).

Pasal 5

(1) Angka kredit melaksanakan perkuliahan/tutorial, membimbing, menguji,
menyelenggarakan pendidikan di laboratorium, praktek keguruan,
bengkel/studi/kebun percobaan/teknologi pengajaran dan praktek
lapangan, merupakan satu paket dengan jumlah angka kredit maksimum
yang dapat diakui adalah 5,5 angka kredit per-semester per-12 sks
bagi yang menduduki jabatan Asisten Ahli dan 11 angka kredit per-
semester per-12 sks bagi yang menduduki jabatan Lektor ke atas.
Beberapa dosen yang mengajar 1 (satu) mata kuliah (Team Teaching),
pembagian angka kreditnya sebanding dengan beban tugas dosen masing
-masing yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan dosen-dosen tersebut
dan mendapat persetujuan dari ketua program studi/ketua jurusan.
Penghitungan angka kredit butir kegiatan ini didasarkan pada bobot
SKS mata kuliah kali jumlah kelas yang ada. (jumlah mahasiswa per-
kelas minimal 30 orang).

(2) Membimbing seminar mahasiswa adalah membimbing seminar mahasiswa
dalam rangka studi akhir dan angka kreditnya 1 (satu) per-semester
tidak tergantung pada jumlah mahasiswa yang dibimbing.

(3) Membimbing kuliah kerja nyata, praktek kerja nyata dan praktek
kerja lapangan, angka kreditnya bukan per kegiatan, melainkan
kegiatan selama 1 (satu) semester tanpa melihat jumlah mahasiswa
yang dibimbing.

(4) Membimbing/ikut membimbing dalam menghasilkan disertasi, thesis,
skripsi dan laporan akhir studi, angka kreditnya baru diberikan apa
bila yang dibimbing telah dinyatakan lulus/mengakhiri studi dengan
ketentuan sebagai berikut :

a. Setiap disertasi, diberi 8 angka kredit bagi pembimbing dan 6
angka kredit bagi pembimbing pendamping/pembimbing pembantu.

b. Setiap thesis, diberi 3 angka kredit bagi pembimbing dan 2 angka
kredit bagi pembimbing pendamping/pembimbing pembantu.

c. Setiap skripsi, diberi 1 angka kredit bagi pembimbing dan 0,5
bagi pembimbing pendamping/pembimbing pembantu.

d. Setiap laporan akhir studi, diberi 1 angka kredit bagi pembimbing
dan 0,5 bagi pembimbing pendamping/pembimbing pembantu.

(5) Bertugas sebagai penguji pada ujian akhir, angka kreditnya 1 per
mahasiswa per semester bagi ketua penguji dan 0,5 per-mahasiswa per-
semester bagi sekretaris dan anggota penguji. Termasuk ke dalam
pengertian ujian akhir adalah ujian disertasi/thesis/skripsi/
laporan akhir studi, komprehensif.

(6) Bagi pembimbing atau pembimbing pendamping/pendamping pembantu,
jumlahnya tidak dibatasi dan masing-masing diberikan angka kredit
sebanding dengan beban tugas masing-masing yang ditetapkan berdasar-
kan kesepakatan para pembimbing atau pembimbing pendamping/
pembimbing pembantu tersebut setelah mendapat persetujuan dari
pimpinan fakultas/pasca sarjana.

(7) Membina kegiatan mahasiswa di bidang akademik adalah kegiatan-
kegiatan yang bersifat kurikuler dan ko kurikuler termasuk sebagai
penasehat akademik/ dosen wali, sedangkan di bidang kemahasiswaan
adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstra kurikuler seperti
pembinaan minat, penalaran dan kesejahteraan mahasiswa.

(8) Mengembangkan program kuliah adalah hasil pengembangan inovatif
model metode pembelajaran, media pembelajaran dan evaluasi pembela-
jaran dalam bentuk suatu tulisan yang tersimpan dalam perpustakaan
perguruan tinggi, termasuk dalam kegiatan ini adalah pengembangan
dan penyusunan matakuliah baru serta pengembangan dan penyusunan
methodologi pendidikan dan methodologi penelitian di perguruan
tinggi.

(9) Mengembangkan bahan pengajaran adalah hasil pengembangan inovatif
materi substansial pengajaran dalam bentuk buku ajar, diktat, modul,
petunjuk praktikum, model, alat bantu, audio visual, naskah tutorial

a. Buku ajar adalah buku pegangan untuk suatu matakuliah yang di-
tulis dan disusun oleh pakar bidang terkait dan memenuhi kaidah
buku teks serta diterbitkan secara resmi dan disebarluaskan.

b. Diktat adalah buku ajar untuk suatu matakuliah yang ditulis dan
disusun oleh pengajar matakuliah tersebut, mengikuti kaidah
tulisan ilmiah dan disebarluaskan kepada peserta kuliah.

c. Petunjuk praktikum adalah pedoman pelaksanaan praktikum yang ber-
isi tata cara persiapan, pelaksanaan, analisis data dan
pelaporan. Pedoman tersebut disusun dan ditulis oleh kelompok
staf pengajar yang menangani praktikum tersebut dan mengikuti
kaidah tulisan ilmiah.

d. Model adalah alat peraga atau simulasi komputer yang digunakan
untuk menjelaskan fenomena yang terkandung dalam penyajian suatu
matakuliah untuk meningkatkan pemahaman peserta kuliah.

e. Alat bantu adalah perangkat keras maupun perangakat lunak yang
digunakan untuk membantu pelaksanaan perkuliahan dalam rangka
meningkatkan pemahaman peserta kuliah tentang suatu fenomena.

f. Audio Visual adalah alat bantu perkuliahan yang menggunakan
kombinasi antara gambar dan suara, digunakan dalam kuliah untuk
meningkatkan pemahaman peserta didik tentang suatu fenomena.

g. Naskah tutorial adalah bahan rujukan untuk kegiatan tutorial
suatu matakuliah yang disusun dan ditulis oleh pengajar mata-
kuliah atau oleh pelaksana kegiatan tutorial tersebut, dan
mengikuti kaidah tulisan ilmiah.

(10) Menyampaikan orasi ilmiah adalah menyampaikan pidato ilmiah pada
forum-forum kegiatan tradisi akademik seperti dies natalis, wisuda
lulusan, dll.

(11) Termasuk ke dalam pengertian menduduki jabatan pimpinan perguruan
tinggi adalah menduduki jabatan sebagai :

a. Ketua Lembaga di lingkungan Universitas/Institut, angka kredit
nya sama dengan Pembantu Rektor.

b. Kepala Pusat Penelitian di lingkungan Universitas/Institut,
angka kreditnya sama dengan Pembantu Dekan.

c. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat di
lingkungan sekolah tinggi, angka kreditnya sama dengan Pembantu
Ketua sekolah tinggi.

d. Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat di lingkung-
an Akademi dan Politeknik, angka kreditnya sama dengan Pembantu
Direktur.

e. Ketua dan Sekretaris Program Studi, angka kreditnya sama dengan
Sekretaris Jurusan.

(12) Yang berwenang membimbimg dosen yang lebih rendah jabatan fungsional-
nya, baik pembimbing pencangkokan maupun pembimbing reguler adalah
mereka yang sudah menduduki jabatan Lektor bagi yang berpendidikan
S3/Sp.II atau yang sudah menduduki jabatan Lektor Kepala bagi yang
berpendidikan S1/DIV atau S2/Sp.I. Membimbing pencangkokan adalah
kegiatan membimbing dosen yunior dari perguruan tinggi lain yang
dicangkokkan pada perguruan tinggi asal oleh pembimbing dalam
bidang ilmu yang sama. Sedangkan membimbing reguler adalah kegiatan
membimbing dosen yunior oleh dosen senior dalam bidang ilmu yang
sama pada perguruan tinggi sendiri.

(13) Melaksanakan kegiatan detasering adalah melaksanakan suatu kegiatan
penugasan dari perguruan tinggi asal ke suatu perguruan tinggi lain
untuk membimbing dosen yunior pada perguruan tinggi tersebut dalam
bidang ilmu yang sama. Sedangkan melaksanakan kegiatan pencangkok-
an adalah mengikuti sebagai dosen peserta pencangkokan yang dikirim
oleh suatu perguruan tinggi asal ke suatu perguruan tinggi lain
untuk tujuan meningkatkan kemampuan dalam bidang ilmunya.

Pasal 6

(1) Angka kredit untuk kegiatan melaksanakan penelitian dan melaksanakan
pengabdian kepada masyarakat adalah angka kredit maksmimal dan bukan
angka kredit absolut. Artinya dalam batas rambu-rambu ini masih di-
berikan angka kredit yang wajar bagi kasus masing-masing melalui
penilaian sejawat (peer review) berdasarkan mutu, sofistikasi dan
kemutahiran. Sedangkan angka kredit untuk kegiatan memperoleh dan
melaksanakan pendidikan serta penunjang tridharma perguruan tinggi
merupakan angka kredit absolut.

(2) Hasil penelitian atau hasil pemikiran yang dipublikasikan dalam
bentuk :

a. Monograf adalah suatu tulisan ilmiah dalam bentuk buku yang
substansi pembahasannya hanya pada satu hal saja dalam suatu
bidang ilmu.

b. Buku referensi adalah suatu tulisan ilmiah dalam bentuk buku
yang substansi pembahasannya pada satu bidang ilmu.

(3) Buku yang memenuhi syarat adalah buku yang memenuhi kriteria sebagai
berikut :

a. Tebal paling sedikit 40 (empat puluh) halaman cetak (menurut
format UNESCO)

b. Ukuran adalah 15,5 X 23 cm

c. Harus memiliki International Standard of Book Numbering System
(ISBN)

d. Diterbitkan oleh Badan Ilmiah/Organisasi/Perguruan Tinggi

e. Isi tidak menyimpang dari falsafah Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945

(4) Hasil penelitian atau hasil pemikiran yang dipublikasikan dalam
majalah ilmiah :

a. Majalah ilmiah internasional adalah majalah ilmiah yang terbit
pada negara lain yang memiliki reputasi yang tidak diragukan
atau majalah ilmiah nasional terakreditasi yang menurut
penilaian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi disamakan dengan
majalah ilmiah internasional.

b. Majalah Ilmiah nasional terakreditasi adalah majalah ilmiah yang
di samping memenuhi kriteria sebagai majalah ilmiah nasional,
juga mendapat akreditasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi yang daya lakunya 3 (tiga) tahun sehingga suatu majalah
ilmiah yang terakreditasi pada suatu tahun dapat saja tidak
terakreditasi pada tahun berikutnya, sangat tergantung hasil
penilaian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang
kemudian ditetapkan dalam suatu Surat Edaran Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi.

c. Majalah ilmiah nasional tidak terakreditasi adalah majalah ilmiah
yang memnuhi kriteria sebagai berikut :

1) Bertujuan menampung/mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian
ilmiah dan atau konsep ilmiah dan disiplin ilmu tertentu.

2) Ditujukan kepada masyarakat ilmiah/peneliti yang mempunyai
disiplin-disiplin keilmuan yang relevan.

3) Diterbitkan oleh Badan ilmiah/organisasi/perguruan tinggi
dengan unit-unitnya.

4) Mempunyai dewan redaksi yang terdiri dari para ahli dalam
bidangnya.

5) Mempunyai International Standard of Serial Number (ISSN).

6) Diedarkan secara nasional.

(5) Pada suatu majalah dapat memuat beberapa artikel ilmiah dari penulis
yang sama dan angka kreditnya dihitung per-artikel ilmiah, dan bukan
per-majalah ilmiah.

(6) Hasil penelitian atau hasil pemikiran yang dipublikasikan melalui
seminar :

a. Disajikan yakni disajikan secara tertulis dalam bentuk makalah.

b. Poster yakni rancangan atau desain yang difungsikan untuk
mempublikasikan sebuah kegiatan tertentu dan atau mempromosikan
suatu hasil karya dengan sentuhan audio visual yang menarik dan
original.

(7) Hasil penelitian atau hasil pemikiran yang dipublikasikan dalam
koran/majalah populer/majalah umum sebagai suatu tulisan ilmiah
populer.

(8) Hasil penelitian atau hasil pemikiran yang tidak dipublikasikan dan
tersimpan di perpustakaan perguruan tinggi setelah mendapat
rekomendasi dari seorang Guru Besar atau pakar dibidangnya.

(9) Menterjemahkan/menyadur buku ilmiah adalah menterjemahkan/menyadur
buku ilmiah dalam bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia atau
sebaliknya yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional dalam
bentuk buku.

(10) Mengedit/menyunting buku ilmiah adalah hasil suntingan/editing
terhadap isi buku ilmiah orang lain untuk memudahkan pemahaman
bagi pembaca dan diterbitkan serta diedarkan secara nasional
dalam bentuk buku.

(11) Membuat rancangan dan karya teknologi yang dipatenkan adalah
membuat rancangan yang sekaligus menghasilkan karya nyata di
bidang teknologi yang dipatenkan yakni mendapat sertifikasi hak
cipta/hak intelektual secara paten dari badan atau instansi yang
berwenang pada tingkat :

a. Internasional adalah mendapat sertifikasi hak cipta/hak
intelektual dari badan atau instansi yang berwenang untuk
tingkat internasional.

b. Nasional adalah mendapat sertifikasi hak cipta/hak intelektual
dari badan atau instansi yang berwenang untuk tingkat nasional.

(12) Membuat rancangan dan karya teknologi adalah membuat rancangan
yang sekaligus menghasilkan karya nyata di bidang teknologi tanpa
mendapat hak paten, tetapi mendapat penilaian sejawat yang
mempunyai otoritas sebagai karya yang bermutu, canggih dan
mutakhir pada tingkat :

a. Internasional adalah mendapat penilaian sejawat yang mempunyai
otoritas untuk tingkat internasional.

b. Nasional adalah mendapat penilaian sejawat yang mempunyai
otoritas untuk tingkat nasional.

c. Lokal adalah mendapat penilaian sejawat yang mempunyai
otoritas untuk tingkat daerah.

(13) Membuat rancangan dan karya seni monumental/seni pertunjukan
adalah rancangan yang sekaligus menghasilkan karya nyata di bidang
seni monumental/seni pertunjukan. Termasuk ke dalam pengertian ini
adalah karya desain.

a. Rancangan dan karya seni monumental adalah rancangan dan karya
seni yang mempunyai nilai abadi/berlaku sepanjang zaman yang
penilaiannya tidak saja pada aspek monumentalnya tetapi juga
pada elemen estetiknya, seperti patung, candi, dll. Karya seni
rupa, seni kriya, seni pertunjukan dan karya desain sepanjang
memiliki nilai monumental, baru tergolong ke dalam karya seni
monumental.

b. Rancangan dan karya seni rupa adalah rancangan dan karya seni
murni yang mempunyai nilai estetik tinggi, seperti seni patung,
seni lukis, seni pahat, seni keramik. seni fotografi dll.

c. Rancangan dan karya seni kriya adalah rancangan dan karya seni
yang mempunyai nilai keterampilan sebagaimana seni kerajinan
tangan, seperti membuat keranjang, kukusan, mainan anak-anak dll.

d. Rancangan dan karya seni pertunjukan adalah rancangan dan karya
seni yang dalam penikmatannya melalui pertunjukan, seperti seni
karawitan, musik, tari, pedalangan, teater, dll.

e. Karya desain adalah bagian dari karya seni rupa yang diaplikasi-
kan kepada benda-benda kebutuhan sehari-hari yang mempunyai
nilai guna, seperti desain komunikasi visual/desain grafis,
desain produk, desain interior, desain industri tekstil dll.

(14) Karya sastra adalah karya ilmiah atau karya seni yang memenuhi
kaidah pengembangan sastra dan mendapat pengakuan dan penilaian
oleh para pakar sastra ataupun seniman serta mempunyai nilai
originalitas yang tinggi.

Pasal 7

(1) Menduduki jabatan pimpinan pada lembaga pemerintah/pejabat negara
yang harus dibebaskan dari jabatan organiknya seperti Presiden,
Wakil Presiden, Anggota DPR dan Anggota DPRD, Anggota BPK. Ketua/
Wakil Ketua/Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung, Anggota DPA,
Menteri, Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Gubernur KDH
Tk.I, Wakil Kepala Daerah Tk.I, Bupati/Wali Kotamadya kepala Dae-
rah Tk.II, Wakil Kepala Daerah Tk.II, dan pejabat lain yang dite-
tapkan dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Melaksanakan pengembangan hasil pendidikan dan penelitian yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adalah mengembangkan hasil
pendidikan dan penelitian melalui praktek nyata di lapangan untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat.

(3) Memberi latihan/penyuluhan/penataran/ceramah kepada masyarakat,
baik sesuai dengan bidang ilmunya maupun di luar bidang ilmunya,
baik kepada masyarakat umum, maupun masyarakat kampus (dosen,
mahasiswa dan tenaga non dosen).

(4) Memberi pelayanan kepada masyarakat atau kegiatan lain yang
menunjang pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan ada-
lah memberikan konsultasi untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat, baik berdasarkan keahlian yang dimiliki, penugasan dari
lembaga perguruan tinggi atau berdasarkan fungsi jabatan.

(5) Membuat/menulis karya pengabdian pada masyarakat adalah membuat
tulisan mengenai cara-cara melaksanakan atau mengembangkan sesuatu
untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, baik dalam bidang ilmunya
maupun di luar bidang ilmunya yang tidak dipublikasikan.

Pasal 8

(1) Termasuk ke dalam pengertian menjadi anggota dalam suatu panitia/
badan pada perguruan tinggi adalah ketua, sekretaris dan anggota
senat fakultas/perguruan tinggi serta mitra bestari (reviewer) pada
jurnal ilmiah yang terakreditasi oleh Ditjen Dikti atau majalah
ilmiah yang memiliki ISSN.

(2) Menjadi anggota dalam suatu panitia/badan pada perguruan tinggi
tidak ditentukan batas minimal dan maksimal karena nilai butir
kegiatan/angka kredit yang diberikan bukan per kegiatan melainkan
kegiatan-kegiatan selama 1 (satu) tahun.

(3) Menjadi anggota panitia/badan pada lembaga pemerintah, angka kredit
nya dihitung per-kepanitiaan dan bukan per-tahun.

(4) Menjadi anggota organisasi profesi, angka kreditnya dihitung per-
periode jabatan.

(5) Mewakili perguruan tinggi/lembaga pemerintah duduk dalam panitia
antar lembaga, angka kreditnya di hitung per-kepanitiaan dan bukan
per-tahun.

(6) Menjadi anggota delegasi nasional ke pertemuan internasional, angka
kreditnya dihitung per-tahun dan bukan per-kepanitiaan.

(7) Berperan serta aktif dalam pertemuan ilmiah, angka kreditnya di-
hitung per-pertemuan ilmiah (per-kegiatan).

(8) Mendapat tanda jasa/penghargaan antara lain seperti, Satya Lencana
Karyasatya Bintang Jasa, Bintang Maha Putra, Hadiah Pendidikan,
Hadiah Ilmu Pengetahuan, Hadiah Seni, Hadiah Pengabdian, dll.

(9) Menulis buku pelajaran SLTA ke bawah yang diterbitkan dan diedarkan
secara nasional adalah menghasilkan buku pelajaran buku SLTA ke
bawah yang memiliki international Standard of Books Numbering
System (ISBN).

(10) Mempunyai prestasi di bidang olahraga/humaniora adalah prestasi
yang dibuktikan dengan adanya piagam penghargaan atau medali baik
tingkat Internasional, Nasional maupun Daerah.

Pasal 9

(1) Untuk pengusulan Penetapan Angka Kredit, dosen harus mengisi
Daftar Usul Penetapan Angka Kredit dan surat-surat pernyataan
melaksanakan kegiatan Tridharma dan Penunjang Tridharma Perguruan
Tinggi.

(2) Setiap usul Penetapan Angka Kredit dosen harus dinilai secara
seksama oleh Tim Penilai yang dilakukan setiap saat tanpa harus
menunggu terpenuhinya syarat masa dalam jabatan dan pemberian angka
kreditnya harus mempertimbangkan kelayakan perhitungan angka kredit
perkelompok jabatan akademik sebagaimana tersebut pada lampiran IIa,
IIb, IIc dan IId berdasarkan rasional perhitungan jumlah jam kerja
per minggu sebagaimana tersebut pada Lampiran IIe.

(3) Hasil penilaian Tim Penilai ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
menetapkan angka kredit dan dibuat menutut contoh formulir
sebagaimana tersebut pada Lampiran III.

(4) Usul kenaikan jabatan dan pangkat setelah penyesuaian serta perlu
tidaknya persyaratan angka kredit sesuai dengan masa dalam jabatan
dan pangkat terakhir sebagaimana tergambar pada Lampiran IV.

Pasal 10

(1) Hal-hal yang belum diatur dalam keputusan ini akan diatur
tersendiri dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

(2) Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan.






Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 4 Mei 2001



a.n. Menteri Pendidikan Nasional
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi



ttd

Satryo Soemantri Brodjonegoro
NIP 130 889 802




Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretariat Ditjen Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
Kepala Bagian Tatalaksana dan Kepegawaian



ttd

Drs. Syuaiban Muhammad
NIP 130 818 954

Tidak ada komentar: