ecara terpisah, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Satryo S Brodjonegoro kepada Media mengatakan, keberadaan PJJ sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Menteri Nomor 107/U/ Tahun 2001. Di situ, secara lengkap, disebutkan pula bahwa program pendidikan tinggi jarak jauh diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan.
Terdapat sekitar 10 persyaratan yang harus dipenuhi institusi pendidikan tinggi. Mulai dari keberadaan sumber daya untuk merancang, menyusun, memperoduksi, dan menyebarluaskan seluruh bahan ajar yang diperlukan untuk kurikulum. Sampai dengan pelaksanaan kerja sama dengan perguruan tinggi lain yang sudah memiliki izin penyelenggaraan program studi serupa, dan evaluasinya.
Penyelenggara program juga harus lembaga yang sudah memiliki kualifikasi. Selain itu, lanjutnya, lembaga yang bersangkutan harus menyertakan program-program pembelajaran.
"Program yang diajukan tidak saja berdasarkan pada buku, namun modul-modul dan fasilitas lain yang sesuai dengan program pembelajarannya," jelas Satryo. Dengan demikian, mahasiswa dijamin bisa belajar secara mandiri.
Dan sampai saat ini, selain UT ditjen dikti belum menerima pengajuan izin dari institusi lain. Dengan demikian, institusi yang sudah menyelenggarakan program sejenis dianggap ilegal. "Yang sudah praktik sekarang, itu tidak jelas," tegasnya.
Ditjen Dikti dalam hal ini mengimbau agar masyarakat waspada terhadap praktik-praktik pembelajaran nonkonvensional itu. Sebab, harus dibedakan antara program pembelajaran jarak jauh (distance learning) dengan program kelas jauh.
Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang masih gelar minded, ada saja lembaga yang sengaja merancukan kedua model pembelajaran itu demi mengambil keuntungan. Misalnya, tanpa proses pembelajaran seseorang sudah mendapat gelar `aspal` akademik.
Sampai saat ini, katanya, ditjen dikti tetap pada posisi kebijakan tidak memberi izin program kelas jauh. Sebab, pada praktiknya tidak ada jaminan dalam proses pembelajaran itu terjadi pertemuan antara dosen dan mahasiswa. Dan, akhirnya mutu pembelajaran juga tidak jelas serta kecenderungan terjadi jual beli ijazah/gelar.
Secara terpisah, Ketua Bidang Kebijakan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Prof Muhammadi mengatakan, model pembelajaran pendidikan tinggi jarak jauh itu tidak bisa dihindari apalagi memasuki era globalisasi. "Pada tahun 2003 kita sudah masuk AFTA sehingga kompetesi yang dihadapi tidak hanya pada PT lokal, namun dari luar negeri," katanya.
Lebih jauh, Muhammadi yang juga sebagai anggota Komisi VI DPR bidang pendidikan, mengatakan Indonesia sebenarnya tertinggal dalam pengadaan program pendidikan tinggi jarak jauh. Di Eropa, PT bergabung membuka program Magister Manajemen (MM) secara distance learning lewat media internet. Bukan itu saja, MIT dan Harvard University juga sudah membuka program semacam itu.(Sto/B-1).
Selasa, 06 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar